Sukses

Ikhtiar Luar Biasa Nenek Tasripah Rawat Anak Berpaha Bengkak

Usia semakin menua, tantangan hidup Nenek Tasripah justru semakin bertambah. Ia masih harus menjaga putra satu-satunya dalam kemiskinan.

Liputan6.com, Semarang - Tangan keriput Nenek Tasripah (80) masih cekatan menyiapkan sepiring nasi dengan sayur lodeh pedas. Nasi itu bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk Karmijan (52). 

Karmijan tak bisa beraktivitas sebagaimana mestinya. Padahal, ia adalah anak satu-satunya yang sempat menjadi tumpuan hidupnya.

Warga Desa Karanggeneng, RT 03/RW 01, Kecamatan Godong, Kabupaten  Grobogan, Jawa Tengah itu harus berjuang mempertahankan hidup dengan berserah kepada keadaan. Kepada Liputan6.com, Tasripah mengaku berserah bukan pasrah.

"Nggih ngaten niki. Namun nyerahaken wonten Gusti. Mboten pasrah, menawi pasrah niku mboten usaha. Kula usaha sinaosa namun dedonga. (Ya beginilah. Hanya berserah kepada Allah. Bukan pasrah, kalau pasrah itu tak ada usaha. Saya juga berusaha meskipun hanya doa," kata Tasripah, Senin (18/12/2017).

Tasripah, si nenek miskin itu  harus mengurusi segala kebutuhan Karmijan, sejak anaknya sakit. Hanya pahanya yang bengkak, tapi sakit Karmijan sudah menahun dan membuatnya tak bisa beraktivitas.

Berat badan Karmijan juga terus menurun. Tubuhnya sangat kurus dan waktunya hanya bisa dihabiskan di tempat tidur. Karmijan menjadi seperti anak kecil lagi yang segala kebutuhannya harus dilayani.

"Kula mekaten mboten awrat kok. Sampun kewajiban tiyang sepuh niku nggulowentah lare. (Saya menjalani ini tidak keberatan. Sudah menjadi kewajiban orang tua untuk merawat anaknya)," kata Tasripah.

Usia menua, anak tak bisa bekerja. Tentu bukan perkara mudah untuk mempertahankan hidup. Namun, tekad mensyukuri nikmat Tuhan telah membawanya bertahan sejauh ini. Tasripah dan Kasmijan bertahan dengan mengandalkan pemberian dari keluarga jauh maupun para tetangga.

Semua berawal dua tahun lalu ketika Karmijan merasakan gatal di kaki. Awalnya gatal itu biasa saja, sehingga secara naluriah Karmijan hanya menggaruknya. Rasa gatal yang mendera itu kemudian bermetamorfosa menjadi benjolan yang terus membesar.

"Rumiyin nate nyuwun pirso pak mantri terus paringi obat. Ning mboten mantun. Pak Mantri ngendika kedah mondok wonten rumah sakit. (Dulu pernah ditanyakan ke mantri kesehatan dan diobati, tapi tidak juga sembuh. Pak Mantri meminta dibawa ke rumah sakit)," kata Tasripah.

Menjadi miskin, tentu bukan pilihan. Keadaan lah yang memaksa Tasripah untuk menjelma menjadi nenek miskin. 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kontradiksi Anggaran Kemiskinan

Saat berbincang, sang adik, Giyarti yang siang itu membawakan makanan ikut bercerita. Keluarga kakaknya itu pernah diupayakan mendapat bantuan dari pemerintah. Saat itu, benjolan Karmijan makin besar. Tak punya biaya, Karmijan membiarkan rasa sakitnya itu.

"Dulu pemerintah desa pernah mendatangkan dokter. Katanya harus dioperasi, tapi Karmijan tidak mau karena tidak punya biaya. Sudah lama itu. Mungkin sekitar setengah tahun lalu," kata Giyarti.

Sakit Karmijan menambah lengkap kondisi tempat mereka tinggal. Saat ini, Tasripah dan anaknya semata wayang itu tinggal dalam sebuah gubuk yang tinggal menunggu waktu saja untuk roboh.

Usia renta, anak tak bisa bekerja, penglihatan rabun menjadi penyempurna hidup Tasripah. Namun, Tasripah masih terus menjaga kebersihan rumahnya.

Di sudut gubuk kecilnya yang terbuat dari bambu, ada sebuah sapu ijuk yang juga mulai rontok ijuknya. Tasripah masih rajin menyapu lantai yang masih berupa tanah. Setiap kali Tasripah menyapu, Karmijan hanya bisa menatapnya sambil tidur miring di bale-bale bambu.

"Nggih ngaten niki. Kagem maem mawon njagakke sederek kaliyan tanggi, nggih mboten saged teng dokter (Iya seperti ini. Buat makan saja hanya mengharapkan saudara dan tetangga, saya tidak bisa ke dokter)," kata Tasripah.

Mengapa tidak masuk BPJS atau menggunakan fasilitas Kartu Indonesia Sehat sehingga bisa mendapatkan fasilitas kesehatan memadai?

Menurut Tasripah, pemerintah desa pernah mengunjungi dan mendatanya. Namun, setelahnya tak ada kelanjutan apa-apa. Hanya tetangga yang memberi bantuan.

Pemprov Jawa Tengah dalam berbagai kesempatan mengaku terus berupaya mengatasi kemiskinan di Jawa Tengah. Dalam dokumen resmi APBD 2017, anggaran untuk mengentaskan kemiskinan mengalami kenaikan menjadi Rp 1,4 triliun. Jumlah ini meningkat besar dibandingkan 2016 yang hanya sekitar Rp 435,183 miliar.

Sedangkan, untuk anggaran Kesehatan sesuai catatan sidang pembahasan APBD Perubahan Komisi E DPRD Jateng tahun 2017 dianggarkan sekitar Rp 200 miliar. Khusus untuk bantuan keuangan bidang kesehatan, APBD Jateng 2017 dianggarkan mencapai Rp 150 miliar.

Kisah Tasripah dan Karmijan ini menjadi antitesa keseriusan penangan kemiskinan dan kesehatan karena saat ini Indonesia sudah merdeka.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.