Sukses

Cerita Petani di Balik Segarnya Kolang Kaling

Kolang Kaling menjadi berkah buat petani saat bulan Ramadan tiba.

Liputan6.com, Tasikmalaya - Datangnya bulan suci Ramadan menjadi keberkahan tersendiri buat semua warga. Tak terkecuali petani sekaligus pengolah buah kolang kaling yang berada di daerah Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.

Buah berbentuk bulat lonjong putih bening dari pohon aren ini cukup digemari masyarakat Indonesia. Khususnya untuk dijadikan hidangan minuman segar nan kenyal saat berbuka puasa.

Karenanya, saat Ramadan tiba maka menjadi berkah bagi para petani sekaligus pengolah buah kolang kaling ini.

"Ya, lumayan (keuntungannya) setahun sekali, buat Lebaran keluarga," ujar Ajun, salah seorang petani Kolang Kaling saat ditemui Liputan6.com, Selasa siang, 23 Mei 2017.

Buah kolang kaling yang biasa ia olah berasal dari pohon Kawung atau pohon Aren yang sudah berusia matang. Sehingga biji Caruluk atau buah Aren yang dipanen sangat pas untuk diolah menjadi buah kolang kaling yang matang.

"Minimal direbus dulu 2,5 jam agar memudahkan pengupasan buahnya (kolang kaling). Jika kurang matang, kurang baik," ujar warga kampung Galunggang, Desa Tanjung Sari, Salawu kabupaten Tasik itu menambahkan.

Dalam praktek pengolahannya, buah Aren yang baru dipetik dari tandannya, tidak semudah yang dibayangkan dengan langsung dikupas. Buah tersebut harus melalui proses penggodokan di atas tungku dengan panas hingga 100 derajat celsius.

"Kalau tidak digodok buahnya gatal dan tidak bisa dikeluarkan (buah kolang kaling)," kata dia.

Setelah digodok dalam tungku wajan yang berasal dari drum yang dibelah, buah matang tersebut kemudian melewati proses pengupasan untuk mengeluarkan biji kolang kaling yang berwarna putih bening dan berbentuk lonjong itu.

"Jika penggodokannya kurang matang, biasanya buahnya berwarna merah dan itu gagal tidak bisa dijual," kata dia.

Buah kolang kaling yang telah dikupas, selanjutnya direndam dalam air selama tiga hari untuk mendapatkan kandungan air yang cukup.

"Baru setelah itu ditumbuk untuk mendapatkan bentuk yang ideal," ujar Uja, kakak Ajun yang juga petani ini.

Uja mengatakan, dalam satu bulan Ramadan, ia bersama petani lainnya sanggup menghasilkan buah kolang kaling hingga empat ton dan siap dipasarkan melalui tengkulak yang sudah siap membeli.

"Kalau kami hanya proses, khusus penjualan ada penampung," kata dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kolang Kaling Terancam Punah

Ajun menambahkan, seluruh proses pengolahan buah kolang kaling yang ia lakukan bersama kakaknyan itu, diperoleh secara otodidak. Semuan dilakukan tanpa sentuhan teknologi.

"Habis tidak ada yang memberikan pelatihan," ujarnya.

Kini dengan semakin dekatnya bulan Ramadan, buah kenyal yang dihasilkan dari hasil pengolahannya itu pun sudah jadi incaran para tengkulak. Saat ini banyak tengkulak yang antre order.

"Mereka rata-rata datang dari wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi)," kata Ajun.

"Saya sendiri sudah tidak mengeluarkan orderan lagi, sebab sudah dipesan semua," kata dia.
Buah Kolang Kaling menjadi berkah buat petani saat bulan Ramadan tiba. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin).
Namun sayang, buah khas Ramadan itu kini mulai terancam kelestariannya. Hal itu akibat penebangan besar-besaran pohon Aren yang juga digunakan sebagai bahan dasar pembuatan tepung kanji.

Jajang, petani lainnya yang berasal dari Langkob, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya menambahkan, kebutuhan tepung kanji yang terus meningkat semakin mengancam kelangsungan pohon Aren. Padahal untuk satu pohon dibutuhkan waktu hingga 10 tahun untuk dipanen.

""Satu pohon hingga siap panen itu bisa 9-10 tahun," ujar Jajang. Ya bagaimana lagi, kita harapkan ada perhatian pemerintah," ujarnya.

Dengan kondisi itu, tak ayal harga buah kolang kaling pun setiap Ramadan tiba terus naik dan semakin mahal. Sebab, untuk mendapatkan buah Aren kini sudah sangat sulit.

"Sekarang nyari buahnya saja sampai gunung, dulu di perkampungan masih banyak," kata dia.

"Sekarang di petani Rp 6.000-7.000 per kilo, kalau dulu hanya Rp 4.000 per kilo,".

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini