Sukses

Rumah Batu Olak Kemang, Jejak Keberagaman di Sumatera

Ragam budaya dan agama menyatu di rumah ini. Mulai dari Melayu, Arab, China, hingga Eropa.

Liputan6.com, Jambi Rumah batu Olak Kemang, begitu warga Jambi menyebutnya. Rumah berlantai dua ini menjadi bukti sejarah kesultanan di Jambi. Meski punya nilai sejarah yang sangat tinggi, kondisi Rumah batu Olak Kemang amat memprihatinkan, bahkan bisa dibilang terancam ambruk.

Berdasarkan sejumlah catatan sejarah di Museum Jambi, sebutan rumah batu disematkan karena pada saat dibangun pada abad ke-18, rumah batu tersebut merupakan bangunan satu-satunya yang terbuat dari batu atau ubin. Sementara bangunan atau rumah di sekelilingnya masih terbuat dari kayu.

Olak Kemang adalah nama daerah yang lokasinya berada di seberang Kota Jambi. Tepatnya berada di bagian utara Kota Jambi, daerah ini dipisahkan oleh Sungai Batanghari. Cukup sekitar 30 menit saja untuk menjangkau daerah Olak Kemang dari Kota Jambi. Kawasan ini dikenal sebagai daerah yang kental dengan budaya Islamnya.

Meski sudah diberi papan cagar budaya, kondisi fisik rumah batu ini terlihat memprihatinkan. Hampir sebagian besar bangunannya terlihat rusak. Keberadaannya kini dijaga dan dirawat oleh para cicit Sayyid Idrus bin Hasan Al Jufri atau biasa dikenal dengan nama Pangeran Wiro Kusumo yang tak lain adalah tokoh pendiri rumah batu Olak Kemang.

Awal 2016, salah satu pengurus rumah batu Olak Kemang, Syarifah Aulia menceritakan, pada abad ke-18, Sayyid Idrus merupakan penyebar Islam keturunan Arab di daerah seberang Kota Jambi. Bangunan ini juga menjadi tonggak berdirinya kesultanan Jambi.

"Rumah batu sengaja didirikan sebagai salah satu tempat belajar dan syiar agama kala itu," ujar Syarifah Aulia, perempuan 60-an tahun yang juga masih keturunan Sayyid Idrus.

Menurutnya, ketika akan membangun rumah tersebut, Pangeran Wiro Kusumo mendapat banyak masukan dari seorang teman karibnya bernama Datuk Sintai. Datuk Sintai merupakan saudagar dan pedagang asal China.

Keunikan bangunan rumah batu adalah mencerminkan perpaduan banyak budaya. Mulai budaya lokal Jambi dengan ciri khas panggung. Lalu budaya Arab melalui ornamen-ornamen kaligrafi dan China dengan ciri khas ornamen berbentuk naga, awan, bunga hingga arca singa. Masuknya pemerintahan kolonial Belanda ke jambi juga berbekas di rumah batu ini. Bangunan gaya Eropa abad ke-18 menghiasi tembok bagian luar rumah batu.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Siapa Pangeran Wiro Kusumo?

Berdasarkan keterangan Syarifah Aulia, Jambi pada masa 1800 hingga 1900-an diisi banyak kegiatan syiar agama Islam. Banyak saudagar dan penyiar agama asal Arab masuk ke Sumatera melalui pantai timur hingga masuk ke Jambi melalui jalur sungai Batanghari. Salah satunya adalah Sayyid Idrus alias Pangeran Wiro Kusumo.

Sayyid Idrus juga dikenal dengan nama Habib Idrus, kakeknya disebut sebagai seorang Arab tulen yang berasal dari semenanjung Arab dan bermigrasi ke Hindia Timur pada abad ke-18. Sayyid Idrus disebut memiliki darah Jambi karena ayahnya beristri seorang perempuan Melayu dari keluarga kesultanan Jambi.

Syarifah Aulia mengatakan, tidak diketahui secara pasti kapan tanggal lahir Sayyid Idrus. Namun berdasarkan dokumen Belanda, Sayyid Idrus berumur 40 tahun pada 1879. Dokumen itu juga mencatat sang habib meninggal pada 1905.

Selain sebagai habib sekaligus penyiar Islam, Sayyid Idrus juga dikenal sebagai seorang mediator ulung. Masuknya kolonial Belanda di Jambi kerap menimbulkan konflik dengan masyarakat Jambi kala itu. Di sinilah Sayyid Idrus muncul sebagai penengah.

Karena kharisma dan kecakapannya, Sayyid Idrus diizinkan menikahi salah satu putri Sultan Nazarudin. Dari pernikahan ini, Sayyid Idrus diyakini menerima gelar Pangerah Wiro Kusumo yang disematkan oleh keluarga Kesultanan Jambi saat itu.

Pada masa jayanya, Sayyid Idrus dikenal sebagai dermawan yang kaya. Ia juga disegani Belanda karena kecakapannya sampai memiliki peran kuat di kesultanan. Ia bahkan diberi jabatan tinggi sebagai wakil sultan di ibu kota. Sebab, pada masa itu, seorang sultan memilih tinggal jauh dari ibu kota untuk menjauhkan diri dari Belanda.

Sebelum meninggal dunia, Sayyid Idrus mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Masjid Jami Al Ikhsaniyah. Ia juga dimakamkan tak jauh dari rumah batu dan masjid tersebut.

Meski kondisinya yang terancam roboh, keberadaan rumah batu Olak Kemang ternyata menjadi magnet bagi sejumlah jurnalis maupun mahasiswa dari luar negeri. Berkali-kali situs bersejarah ini menjadi bahan penelitian atau observasi.

Mulai dari penelitian mahasiswi asal Inggris bernama Fiona Kerlogue. Kemudian datang sejumlah jurnalis dari CCTV (China), Taiwan Macroview (Taipeh), harian China News Service dan sejumlah media asing lainnya.

"Kalau media dalam negeri sudah banyak meliput rumah batu ini," ucap Syarifah.

Meski dikenal sebagai cagar budaya Jambi, nyatanya rumah yang juga disebut juga "Rumah Rajo" ini belum dikelola sebagai aset wisata. Padahal, lokasinya kerap dikunjungi wisatawan baik lokal maupun luar daerah.

Perawatan rumah tua ini sampai sekarang masih dilakukan seadanya oleh pihak keluarga dari keturunan almarhum Sayyid Idrus atau Pangeran Wiro Kusumo. Di mana saat ini tanggung jawab perawatannya berada di pundak Ibu Syarifah Aulia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini