Sukses

Gubuk Derita Keluarga Cipto dan Bulu Mata Palsu

Rumah buruh bangunan Cipto memicu keprihatinan tetangga karena sangat tidak layak.

Liputan6.com, Purbalingga - Mengunjungi sebuah rumah di Dukuh Buret Sawangan, Desa Tanalum, Kecamatan Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah, membuat hati jadi miris. Belum layak disebut sebagai rumah tinggal, lebih tepatnya sebuah gubuk yang berdinding potongan asbes bekas kayu bekas.

Dari pengamatan Liputan6.com, lantai rumahnya hanya berupa tanah. Halaman rumah yang bisa dijadikan sarana bermain anak-anak malah jadi tempat membuang air, seperti comberan. Gubuk itu milik Cipto (39), seorang buruh bangunan.

Di dalam gubuk berukuran sekitar 4 x 5 meter itu Cipto tinggal bersama seorang istri, Buang (38) dan lima orang anak yang masih kecil-kecil, masing-masing Rindi (15), Puput (13), Dani (11), Rical (6), dan Bela (4). Tidak ada kamar khusus untuk anak-anaknya, apalagi untuk orang tua. Hanya ruangan yang disekat dengan dinding kayu yang sudah lusuh.

Tidak ada pula barang-barang perabotan berharga, selain hanya sebuah televisi lama yang sudah usang dan dua buah lemari plastik. Tidak ada tempat duduk untuk tamu, hanya kursi kayu yang sudah rusak. Begitu pula dengan perabotan dapur, hampir tidak ada yang berharga. Di dinding rumahnya terpampang sebuah foto calon bupati-wakil bupati ‘Tasdi–Tiwi’ yang mulai menekuk.

"Sehari-hari, saya hanya bekerja sebagai buruh bangunan. Itu saja kalau sedang ada pekerjaan. Jika tidak, saya harus bekerja serabutan demi menghidupi keluarga," tutur Cipto.

Cipto mengatakan karena impitan ekonomi yang berat, anak-anaknya harus putus sekolah. Anak pertamanya, seorang perempuan yang kini berusia 15 tahun, harus putus sekolah di kelas 5 sekolah dasar. Rindi, anak pertamanya itu kini mulai mencoba bekerja di sebuah salon di kota Tegal.

"Niku larene saweg wangsul, dereng mangkat malih wonten Tegal (Itu anaknya lagi pulang, belum berangkat lagi ke Tegal)," ujar Cipto.

Begitu pula dengan anak kedua dan ketiganya, yang juga putus sekolah di kelas 3 SD. Puput  dan Dani mulai belajar mencari uang jajan sendiri dengan menjadi pemandu bagi wisatawan yang mengunjungi Curug Gogor, Purbalingga. Begitu pula dengan anak ketiganya, yang juga laki-laki.

Meski merasa tidak tega, pengurus Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) desa setempat, menampungnya sebagai pemandu cilik. "Anaknya pintar dan sudah berani memandu saat banyak wisatawan ke Curug Gogor pada libur Lebaran lalu,” tutur Fatah, Ketua Pokdarwis desa setempat.

Sementara, anak keempat masih di kelas 1 SD dan anak kelima belum bersekolah. Untuk menopang ekonomi keluarga, istri Cipto bekerja sebagai plasma rambut di rumahnya sendiri. Sembari menjaga anak-anak, istri Cipto merangkai bulu mata palsu yang kemudian disetor ke pengepul di desanya.

KediamanCipto buruh bangunan Purbalingga sangat tidak layak (Liputan6.com/ Aris Andrianto)

Cipto menyatakan meski hidup semakin terasa berat, dirinya harus tetap bekerja demi kehidupan anak-anak. "Saya inginnya anak-anak bisa melanjutkan sekolah, tidak putus di tengah jalan. Paling tidak bisa lulus sekolah dasar," Cipto berharap.

Ketika ditanya soal tempat tinggalnya yang hampir tidak layak, Cipto hanya mengungkapkan rasa pasrahnya. Penghasilannya tidak mencukupi untuk memperbaiki rumah yang lebih baik. Semua penghasilan habis untuk makan sehari-hari.

"Ini mungkin sudah menjadi garis hidup saya, saya harus menerima nasib ini apa adanya," ucap dia.

"Saya juga tidak punya keterampilan apa-apa selain bekerja sebagai buruh bangunan dan bertani. Untuk bertani, lahan di sini hanya kebun, tidak ada sawah,” ujar Cipto yang mengaku hanya punya tanah yang ditempatinya saat ini.

Tetangga Cipto, Tauhid menuturkan, pihaknya sudah mengusulkan kepada desa agar rumah Cipto bisa dipugar agar lebih layak. "Sudah kami usulkan lama, namun oleh pihak desa belum ditindaklanjuti. Pihak desa juga belum melihat rumah Cipto,” ujar Tauhid.

Tauhid yang di wilayah Dukuh Buret Sawangan dipercaya untuk membantu tugas-tugas RT mengungkapkan, di dukuh Buret Sawangan ada 48 kepala keluarga. Rumah warga yang tidak layak huni, ada beberapa. Namun, yang paling memprihatinkan adalah gubuk Cipto.

"Kami berharap, pemerintah daerah bisa memugar rumah Cipto dan membantu anak-anaknya bersekolah kembali,” tutur Tauhid.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini