Sukses

10 Fakta Kehidupan Pangeran Diponegoro yang Mengejutkan

Di luar sisi kepahlawanan Pangeran Diponegoro, banyak fakta lain kehidupannya yang mengejutkan.

Liputan6.com, Semarang Pangeran Diponegoro adalah panglima Perang Jawa yang paling mumpuni. Kisah kepahlawanannya sudah sangat terkenal seantero Tanah Air. Pangeran Diponegoro juga merupakan salah satu musuh yang paling sulit dikalahkan Belanda.Perang Jawa yang terjadi selama lima tahun menjadi sejarah besar bukan hanya lantaran biayanya dan korbannya yang berjumlah fantastis. Ini adalah perang yang membuat Belanda hampir meruntuhkah kedaulatan Keraton Yogyakarta.Perang selama lima tahun (20 Juli 1825-28 Maret 1830) ini penuh dengan aspek sosial politik, termasuk kebencian Diponegoro terhadap korupsi dan keinginannya membentuk negara Islam.

Pangeran Diponegoro menampar salah seorang pembantunya karena masalah korupsi.

Peter Carey, sejarawan Universitas Oxford, yang telah meneliti Diponegoro selama 30 tahun mengatakan banyak aspek dari sang pangeran yang, selain mistis dan misterius, ternyata lebih “aneh dibandingkan khayalan”. Di bawah ini sepuluh di antaranya:

1. Diponegoro bukan nama asli. Sang pangeran memperoleh namanya dari bahasa Sansekerta, yakni dipa yang berarti ‘cahaya’ dan nagara yang berarti ‘negara’. Secara keseluruhan namanya berarti 'cahaya negara' dan merupakan gelar kebangsawanan di Keraton Jawa Tengah bagian selatan. Sang pangeran menjelaskannya kepada pendamping perwira Jerman, Justus Heinrich Knoerle, selama perjalanannya ke Manado (3 Mei-12 Juni 1830).

2. Pangeran Diponegoro memiliki tujuh istri resmi selama hidupnya serta gundik yang tak tercatat banyaknya. Dari seluruh pendampingnya, berdasarkan catatan sejarah, ia memiliki paling tidak 17 anak. Tujuh dari anak-anaknya (enam laki-laki dan satu perempuan) lahir selama Diponegoro dalam pembuangan di Manado (1830-1833) dan Makassar (1833-1855).

Semuanya, kecuali Raden Mas Sarkumo (1834-1849), dimakamkan di pemakaman keluarga Diponegoro di Kampung Melayu, Makassar. Sekarang ada ribuan keturunan Diponegoro yang tersebar di seluruh Indonesia dengan konsentrasi utama di Ambon (Maluku), Makassar, Banyumas, Kulon Progo, Yogyakarta, Bogor, dan Jakarta.

3. Diponegoro bukanlah asli keturunan Jawa. Silsilahnya lebih mencerminkan keanekaragaman Nusantara. Sebab, neneknya yang perkasa, Ratu Ageng Tegalrejo (1734-1803) yang mengasuhnya selama masa muda di Tegalrejo (1793-1803) adalah keturunan pertama sultan dari Bima (Sumbawa), Abdulkadir I (memerintah 1621-1649).

Sementara neneknya dari pihak ayah, Ratu Kedaton (1752-1820) adalah putri Madura dari garis para penguasa Pamekasan. Kakeknya yang gagah adalah Pangeran Cakradiningrat II, seda Kamal, meninggal 1707.

4. Pangeran Diponegoro dikenal memiliki selera yang baik terhadap anggur. Ia juga sangat menikmati kala meminum anggur manis Constantia Vin de Constance (Chardonnay) dari perkebunan anggur yang terkenal Groot Constantia, Provinsi Cape, Afrika Selatan. Anggur ini memiliki sentuhan akhir seperti madu dan sangat disukai oleh para pemimpin Eropa seperti Napoleon, Bismarck, dan Raja Belanda yang pertama, Willem I (memerintah 1813-1840).

Selain itu, anggur ini juga disukai oleh para penulis, seperti Jane Austen, Charles Dickens, dan penyair Jerman Friederich Gottlieb Klopstock (1724-1802), yang karyanya paling terkenal adalah “The Messiah” (Der Messiah). Klopstock juga mendedikasikan seluruh odenya untuk anggur.

Sufi dan penyebar Islam asal Makassar yang terkenal, Syeh Yusuf al Makasari (1626-1699), dimakamkan di perkebunan anggur dan ada sebuah cungkup peringatan di komplek pemakaman itu. Diponegoro merujuk angggur sebagai obatnya agar bisa mengakali larangan Nabi Muhammad untuk mengkonsumsi alkohol.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kekuatan Diponegoro

5. Diponegoro dilahirkan pada waktu bulan Ramadan, tepat sebelum waktu sahur, yakni pukul 04.00 dinihari pada 11 November 1785. Ia wafat hampir bertepatan waktunya pada pagi yang sama ketika ia lahir hampir 70 tahun kemudian (8 Januari 1855) di Benteng Rotterdam, Makassar.

6. Diponegoro kecanduan sirih. Ia bahkan menyampaikan waktu di hari-harinya tergantung pada jumlah sirih yang sudah dia kunyah. Mulutnya selalu berwarna merah yang disebabkan air sirih.

Salah satu barang pribadi yang ditinggalkannya, yang juga dilihat Peter Carey ketika mengunjungi keluarga Diponegoro di Makassar pada bulan September 1972, adalah sebuah syal bermotif Paisley. Syal ini biasa ia pakai untuk mengelap air sirih dari mulutnya.

7. Tubuh Diponegoro kecil, tapi fisiknya sangat liat dan mampu mengelabui tidak kurang dari 500 pasukan gerak-cepat Belanda yang sangat kuat selama hampir tiga bulan. Selama waktu itu, sang pangeran, yang kaki kanannya sedang terluka karena melompat memasuki jurang untuk menghindari tentara Belanda, bertahan dengan cara tidur di dalam gua, di bawah pohon, dan dalam gubuk yang ditinggalkan. Diponegoro mengikuti jejak badak Jawa ke dalam hutan dan bersembunyi di curamnya gunung-gunung di selatan Kadu, timur Bagelen, dan Banyumas. Selama waktu ini dia hanya ditemani oleh dua punakawannya, Joyosuroto (Roto) dan Bantengwareng, yang merupakan seorang pemuda kerdil yang cerdik.

8. Diponegoro sering berziarah. Ketika dia berangkat ziarah, yang sering dilakukannya secara rutin, dia berjalan ke mana saja sambil bertelanjang kaki dan berpakaian seperti santri. Hal itu ia lakukan agar tidak ada seorang pun yang mengenalinya. Selama perjalanan ini ia kadang bisa menempuh jarak sampai 100 kilometer.

9. Diponegoro adalah penunggang kuda yang hebat. Sebelum pecah Perang Jawa, ia memiliki istal yang sangat besar di Tegalrejo. Ia memiliki lebih dari 60 pengurus kuda hanya untuk memotong rumput dan merawat kuda-kudanya. Salah satu kuda favoritnya, Kyai Gentayu, adalah seekor kuda hitam dengan kaki putih. Kyai Gentayu menjadi pusaka hidup yang dibawanya ke peperangan.

10. Diponegoro sangat suka berkebun. Sang pangeran mengambil peran aktif dalam perancangan dan pengembangan tanahnya di Tegalrejo, yang diwariskan oleh nenek buyutnya ketika meninggal (17 Oktober 1803). Dia mengatakan pada orang Belanda yang menangkapnya, “Apa saja bisa tumbuh subur di tanah Jawa”.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.