Sukses

Lumpia Semarang, Monumen Cinta Dua Penjual Makanan

Lumpia Semarang adalah wujud kompromi dua penjual makanan beda bangsa dan agama, yang awalnya bersaing kemudian merajut cinta.

Liputan6.com, Semarang - Berkunjung ke Semarang tanpa jajan loenpia atau lumpia rasanya tidak lengkap. Pada momen liburan akhir tahun ini para penjual lumpia di Semarang pun diserbu para wisatawan.

Lumpia bisa dinikmati dengan dua cara. Pertama, lumpia digoreng hingga menjadikan kulit lumpia menjadi renyah dan menimbulkan sensasi crispy.

Kedua, dengan cara disantap basah, yakni setelah isi lumpia digulung dengan kulit langsung disajikan. Kulit lumpia lebih lunak dan tidak alot saat digigit.

Rasa lumpia pada beberapa tempat penjualan umumnya sama. Pembeda antara satu penjual dengan lainnya adalah keberanian memberikan bumbu.

 



"Untuk kulitnya sudah ada yang membuat, di kampung Kebon Lancung. Sedangkan rebung cacah kami ambil dari Dusun Blancir, di sisi timur Kota Semarang," kata Irwan, penjual lumpia kaki lima di Jalan Mataram, Semarang, kepada Liputan6.com, Kamis (31/12/2015).

Di luar aspek rasa, penganan khas Semarang ini menyimpan sejarah yang manis dan inspiratif. Lumpia ternyata sebuah monumen cinta dua manusia berbeda ras, bangsa, dan agama.

Kompromi Cinta

Sejarah lumpia berawal dari kedatangan Tjoa Thay Yoe dari Provinsi Fu Kien, Cina, ke Semarang sekitar akhir tahun 1800. Sebagaimana Tionghoa perantauan, dia ingin mengubah nasib agar lebih mapan secara materi.

Tiba di Semarang, Tjoa mencoba berjualan makanan Cina, yakni sejenis martabak yang diisi rebung dan dicampur daging babi. Makanan itu digulung sebagaimana rollade. Tjoa menyasar segmen konsumen urban dari Cina maupun para Cina peranakan.

Tjoa bersaing dengan Wasi, seorang perempuan Jawa yang berdagang makanan sejenis, namun berbeda isi. Jika "martabak" buatan Tjoa berisi campuran rebung dan daging babi dan didominasi rasa asin, maka "martabak gulung" buatan Wasi berisi orak-arik, yakni campuran daging ayam, udang dan telur dengan dominasi rasa manis.

Sejarawan Semarang, Djawahir Muhammad, menyebutkan persaingan kedua manusia pedagang itu sangat sengit tapi masih dalam koridor persaingan sehat. Pada akhirnya mereka menjadi sahabat dekat.

"Dari persahabatan itu mereka bertukar resep, hingga akhirnya mereka menikah. Sebagai tanda cinta menyatunya dua budaya itu, maka Tjoa dan Wasi kemudian menikah," kata Djawahir kepada Liputan6.com, di Semarang, Kamis (31/12/2015).

Setelah menikah pasangan Tjoa-Wasi saling melengkapi. Terciptalah lumpia Semarang yang berbeda dengan loenpia di Fu Kien dan di Jawa.

Lumpia Semarang adalah monumen cinta dua manusia beda bangsa dan agama. (Liputan6.com/Edhie Prayitno Ige)

Resep baru itu menghilangkan semua bahan yang haram, seperti daging babi, minyak babi, dan sejenisnya. Kemudian diganti dengan rebung (khas Cina) yang dicampur dengan udang dan daging ayam (Jawa). Bumbunya juga diubah.

"Kalau loenpia Tjoa asin gurih, loenpia Wasi manis gurih, maka diambil jalan tengah, yakni perpaduan asin, manis, tanpa meninggalkan rasa gurih," kata Djawahir.

Cobalah sesekali menikmati lumpia dengan memperhatikan dan merasakan sensasi historisnya. Persilangan budaya tampak dari isi lumpia. Cara memasak, bentuk, dan nama merupakan ciri hidangan Cina, sedangkan rasa manis dan orak-arik sebagai isi lumpia merupakan ciri khas hidangan Jawa.

Tan Jok Kie, pemilik Loenpia Mataram dan keturunan langsung Tjoa, menyatakan semangatnya adalah menjaga agar monumen cinta itu tetap hidup. Tan Jok Kie adalah anak kedua dari Sim Hwa Nio (cucu Tjoa Thai Yu-Wasi) dan Tan Hok Tjwan.

Mereka berdua adalah pendiri Loenpia Mataram. Jadi Tan Jok Kie adalah generasi kedua Loenpia Mataram atau generasi keempat Loenpia versi Tjoa.

"Kami terus berusaha menjaga warisan kuliner yang legendaris ini. Kami bersyukur sekarang banyak yang ikut berjualan loenpia, sehingga tugas kami lebih ringan. Namun soal bumbu, kami tentu berbeda," tutur Tan.

Dia memberi tips, lumpia bisa lebih maknyuss jika dimakan bersama acar ketimun dan semacam saos yang terbuat dari kanji dengan aneka bumbu rempah. Juga dengan daun bawang sebagai lalapan.**

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.