Sukses

Makna Kirab Boyong Kedhaton dan Hikayat Kota Solo

Ribuan warga memadati Jalan Slamet Riyadi, menonton Kirab Boyong Kedhaton dalam rangkaian peringatan HUT ke-273 Kota Solo.

Solo - Ribuan warga memadati Jalan Slamet Riyadi, sejak Minggu pagi tadi sekitar pukul 06.30 WIB, demi menonton Kirab Boyong Kedhaton dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke- 273 Kota Solo, Jawa Tengah. Kirab tersebut dimulai dari Stadion Sriwedari, Jalan Slamet Riyadi sampai Benteng Vastenburg di Jalan Jenderal Sudirman.

Pantauan Solopos.com, kirab Boyong Kedhaton dimulai pukul 07.00 WIB. Namun, pengunjung mulai berdatangan sejak pukul 06.00 WIB. Pelaksanaan kirab berbarengan dengan acara Car Free Day (CFD) di sepanjang Jalan Slamet Riyadi, Kota Solo.

Petugas Satpol PP, Dinas Perhubungan (Dishub), Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polresta Solo, dan Linmas harus menghalau warga yang berdesak-desakan berebut masuk ke jalan yang akan dilewati peserta kirab. Kondisi tersebut membuat perjalanan perserta kirab tersendat.

"Saya terpaksa harus mengamankan lima warga yang masuk ke dalam rombongan peserta kirab untuk mengambil foto. Banyaknya warga yang berdesak-desakan ingin menonton lebih dekat membuat jalan yang dilewati perserta kirab menyempit," ucap Hardono Rohmadi, petugas Satpol PP Pemkot Solo kepada Solopos.com, Minggu (18/2/2018).

Ia menjelaskan, ribuan warga memadati Jalan Slamet Riyadi untuk menonton Kirab Boyong Kedhaton. Banyaknya warga yang datang membuat petugas harus kerja ekstra keras mengamankan peserta kirab. Sementara itu, jumlah petugas di lapangan sangat minim.

Seorang warga Semanggi, Pasar Kliwon, Murni Astuti, mengaku datang bersama keluarganya dari rumah sejak pukul 06.00 WIB. Kedatangannya bersama keluarga untuk menonton kirab sekaligus untuk menikmati suasana di CFD di sepanjang Jalan Slamet Riyadi, Kota Solo.

Baca berita menarik dari Solopos.com lain di sini.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kota Solo Peringati HUT Setiap 17 Februari

Februari selalu menjadi bulan spesial bagi warga Kota Solo. Di bulan ini diperingati hari ulang tahun (HUT) Kota Solo. Untuk tahun 2018, Kota Solo merayakan HUT ke-273. Tahukah Anda alasan tanggal 17 Februari dijadikan HUT Kota Solo?

Dihimpun Solopos.com dari berbagai sumber, Kamis, 15 Februari 2018, Kota Solo sebenarnya adalah sebuah desa kecil bernama Desa Sala yang berlokasi dekat dengan sebuah sungai besar yang kini disebut Bengawan Solo.

Semuanya berawal dari pemberontakan yang terjadi di Kesultanan Mataram. Pemberontakan menghancurkan Keraton Kartasura, sehingga membuat Raja Kesultanan Mataram saat itu, Sunan Paku Buwono (PB) II mempertimbangkan untuk memindahkan keraton.

Tim yang diminta Sunan Pakubuwana II untuk mencari tempat keraton baru menyarankan tiga pilihan, yaitu Desa Kadipala, Desa Sala, dan Desa Sana Sewu. Sunan Paku Buwono II akhirnya memilih Desa Sala sebagai tempat pembangunan keraton.

Sunan PB II membeli tanah di Desa Sala seharga 10.000 gulden Belanda dari lurah Desa Sala, Kiai Sala. Tidak diketahui berapa lama proses pembangunan keraton baru, namun dikatakan istana Mataram yang baru itu mulai dipakai keluarga kerajaan pada 17 Februari 1745. Sunan PB II mengadakan kirab besar-besaran saat pindah ke istana baru dan menamai istananya sebagai Keraton Surakarta Hadiningrat.

 

3 dari 3 halaman

Perjanjian Giyanti

Setelah pemindahan ke keraton baru itu, pemberontakan di Kesultanan Mataram masih berlangsung hingga dibuatnya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Sunan PB III, Raden Mas Sujana yang dulu diberi gelar Pangeran Mangkubumi, dan perwakilan VOC.

Perjanjian Giyanti menandai bubarnya Kesultanan Mataram yang kemudian dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama dikuasai Sunan PB III bernama Kasunanan Surakarta. Bagian kedua dikuasai Pangeran Mangkubumi yang kemudian diberi gelar Sultan Hamengku Buwono (HB) I berkedudukan di Kesultanan Yogyakarta.

Setelah itu, ada perjanjian Giyanti kedua yang ditandatangani pada 17 Maret 1757. Perjanjian tersebut memberikan sebagian daerah Kasunanan Surakarta kepada Raden Mas Said yang nantinya mengurangi kekuasaan Kasunanan Surakarta. Raden Mas Said kemudian bergelar Adipati Mangkunegara I dan memiliki istana bernama Praja Mangkunegaran.

Setelah kemerdekaan, Kasunanan Surakarta sempat menjadi Daerah Istimewa Surakarta dan dianggap setingkat provinsi. Namun, status tersebut hanya bertahan selama 10 bulan. Selanjutnya muncullah Karesidenan Surakarta yang terdiri dari Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Boyolali. Karesidenan Surakarta diresmikan pada 16 Juni 1946 dan dihapuskan pada 4 Juli 1950.

Kini, daerah-daerah tersebut termasuk Kota Solo menjadi kota atau kabupaten otonom dengan kepala daerah masing-masing. Sejarah pindahnya Sunan PB II dari Keraton Kartasura ke Keraton Kasunanan Surakarta kini diperingati sebagai HUT Kota Solo, yaitu setiap 17 Februari.

Tak hanya itu, kirab besar-besaran saat pindah keraton juga menginspirasi Pemerintah Kota Solo saat mengisi acara HUT.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.