Sukses

Tarif Ojek ke 2 Daerah Ini Setara Tiket Pesawat Jakarta-Gorontalo

Jika tak minat menyewa ojek, Anda bisa berjalan kaki minimal delapan jam lamanya untuk sampai ke kecamatan di Gorontalo ini.

Liputan6.com, Gorontalo – Jauh dan terpencil, dua kata itulah yang mengambarkan letak kecamatan Pinogu, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Pinogu terletak di tengah hutan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.  

Dibutuhkan fisik yang prima jika hendak menuju ke Pinogu. Selain terpencil dan terjal, akses jalan yang rusak ke kecamatan itu semakin mempersulit warga yang lewat.  

Anda punya dua alternatif untuk mencapai daerah itu, yaitu berjalan kaki dan menyewa jasa ojek lokal yang disebut kijang. Kendaraan roda empat sama sekali tak bisa melintas.

Jika ingin berjalan kaki ke Pinogu, dibutuhkan waktu selama 8 jam perjalanan menembus hutan. Waktu tempuh bisa lebih lama jika pejalan kaki banyak beristirahat selama perjalanan. Menyewa ojek merupakan alternatif satu satunya bila ingin tiba lebih cepat ke Pinogu.

Pengendara ojek biasanya dapat dengan mudah ditemui di Tulabolo, desa terakhir yang bisa di lalui oleh kendaraan roda empat. Sulitnya medan yang harus ditempuh membuat harga sewa ojek bahkan bisa setara dengan tiket pesawat Gorontalo – Jakarta.

"Kalau tidak becek, harganya paling murah Rp 800 ribu. Namun kalau sudah musim hujan, sewanya bisa Rp 1 juta," kata Trisrahman Bende, yang sejak 2011 telah berprofesi sebagai kijang.

Dia mengatakan hanya pengendara ojek yang sudah berpengalaman dan memiliki keterampilan mumpuni yang bisa menaklukkan jalan ke Pinogu. Motor yang dipakai juga harus dimodifikasi sedemikian rupa untuk menyesuaikan dengan kondisi jalan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Keluhan Bupati Bone Bolango

Bupati Bone Bolango, Hamim Pou membenarkan parahnya jalan ke wilayah itu. Usaha pengerjaan jalan sudah diupayakan sejak lima tahun terakhir, namun minimnya anggaran yang tersedia membuat Pemkab Bone Bolango baru bisa menyelesaikan sembilan kilometer jalan dari 40 kilometer total jarak ke Pinogu.

Dia mengeluhkan selama ini pihaknya nyaris sendirian dalam menyelesaikan persoalan jalan itu tanpa adanya bantuan dari Pemprov Gorontalo dan pemerintah pusat, seperti Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

"Ada sekitar 4000 warga di sana. Mereka belum sepenuhnya menikmati kemerdekaan, kemampuan kami terbatas. Andaikan ada kolaborasi antara Pemprov Gorontalo, pemerintah pusat, dan Pemkab Bone Bolango, maka dua atau tiga jalan Pinogu bisa selesai," tutur Hamim.

Ia mengatakan, izin kewenangan pembangunan jalan ada di KLHK. Kementerian hanya mengizinkan Pemkab Bone Bolango membangun jalan rabat beton dengan lebar 2 meter, padahal potensi alam di Pinogu terkenal dengan pertanian organik sehingga diperlukan akses jalan yang lebih baik.

"Terus terang kami kecewa karena tidak mendapat dukungan yang memadai ke pemprov gorontalo dan pemerintah pusat untuk merintis jalan ke Pinogu," keluh Hamim.

Meski demikian, dia mengatakan pemkab tahun ini sudah kembali menganggarkan sebanyak Rp 5 miliar untuk mempercepat pengerjaan jalan ke Pinogu. Ia menargetkan sebelum 2020, Pemkab Bone Bolango akan berusaha agar proyek jalan rabat beton bisa selesai.

"Kita juga beli satu unit mini eskavator untuk mengerjakan jalan ke pinogu. In sya Allah, kita juga berharap pemprov maupun pemerintah pusat juga mau ikut menganggarkan pengerjaan jalan di tahun 2019 nanti," ujar Hamim.

 

 

 

3 dari 4 halaman

Kopi Pinogu Favorit Ratu Belanda

Belakangan ini kopi yang dihasilkan di dataran tinggi Kecamatan Pinogu, Kabupaten Bone Bolango semakin digandrungi. Baik oleh penikmat kopi di Gorontalo maupun penikmat kopi dari daerah lain.

Animo masyarakat terhadap Kopi Pinogu tak lain dipengaruhi oleh citarasanya yang khas. Aromanya lebih harum dibandingkan kopi lain pada umumnya.

Selain itu, Kopi Pinogu memiliki karakteristik rasa seperti buah nangka dan tingkat keasaman yang sedang. Sehingga rasanya tak terlalu pahit serta aman di lambung.

Kopi Pinogu terdiri dari dua jenis, yakni jenis Robusta dan Liberica. Kopi Pinogu dikembangkan secara alami atau organik. Pengembangan tersebut diyakini memberi cita rasa dan aroma khas Kopi Pinogu.

Sejarah Kopi Pinogu memiliki beberapa versi. Versi pertama meyakini bila Kopi Pinogu dibawa dan dikembangkan pemerintah Belanda pada 1875. Kala itu Belanda membawa jenis kopi Liberica untuk ditanam di daerah Pinogu.

Namun langkah Belanda itu mendapat perlawanan oleh Pemerintah Kerajaan Suwawa. Sehingga pengembangan Kopi Liberica yang ditanam Belanda saat itu tak berlanjut. Walaupun begitu, hasil produksi Kopi Liberca di Pinogu saat itu sempat dibawa kembali pemerintah Belanda (1890-1948) dan menjadi favorit Ratu Belanda Wilhelmina.

Pada 1970, pemerintah daerah kemudian berupaya membudidayakan kopi jenis robusta di wilayah itu. Budidaya Kopi Robusta secara organis terus dilakukan hingga sekarang. Dinas Pertanian Bone Bolango mencatat, saat ini lahan kebun robusta di Pinogu mencapai 225 hektare, tersebar di lima desa, yakni Pinogu induk, Pinogu Permai, Tilongkabila, Bangiyo, dan Dataran Hijau.

Salah seorang petani kopi sekaligus penggiat kopi asal Pinogu, Nurdin Maini menceritakan, kopi jenis Liberica ditanam di tanah Sinondoo (tanak tak bertuan), yang berada di kawasan hutan dan jauh dari pemukiman penduduk Pinogu. "Produksinya sangat kurang," ujar dia.

Saat ini Kopi Liberica itu masih tumbuh di dalam area hutan Pinogu. "Sekarang luasnya kurang dari lima hektare, Karena memang tidak dibudidayakan oleh petani di sini," tambah dia.

Sementara itu, untuk Kopi Robusta masuk ke Pinogu pada 1960-an. Kopi Robusta yang kini dikenal dengan nama Kopi Pinogu itu dibawa langsung oleh warga Pinogu dari daerah Bolaang Mongondow, untuk ditanam dan dikembangkan di wilayah Pinogu.

Usaha warga ini pun membuahkan hasil. Beberapa tahun kemudian, Kopi Robusta ternyata tumbuh dengan baik di daerah Pinogu.

"Penyebab kenapa Liberica sulit tumbuh di Pinogu karena Liberica sendiri memiliki syarat tumbuh ideal di ketinggian 750-1000 Mdpl, sedangkan Robusta hanya 300-500 Mdpl, sementara Pinogu sendiri berada di ketinggian 310 Mdpl," ujarnya.

Selanjutnya pada 1970-an, Kopi Robusta Pinogu ditanam secara besar-besaran oleh pemerintah setempat, setelah mempertimbangkan tumbuh baiknya bibit kopi yang dibawa oleh petani kopi pinogu sebelumnya.

"Sekarang luas tanaman kopi robusta pinogu mencapai 270 hektare," kata Nurdin.

 

4 dari 4 halaman

Perjuangan Berat Menyelundupkan Kopi Pinogu

Cerita lain tentang Kopi Pinogu ikut dituturkan Yos Wartabone, putra pahlawan nasional Gorontalo Nani Wartabone. Pria yang akrab disapa Om Yos itu mengungkapkan bila keberadaan Kopi Pinogu sudah ada sejak 1875.

Namun keberadan kopi di wilayah Pinogu tersebut membutuhkan perjuangan. Para warga lokal harus susah payah mendapatkan benih kopi.

"Saat itu Gorontalo masuk dalam daerah wilayah penjajahan Belanda," kata Om Yos.

Menurut Om Yos, pada zaman penjajahan itu, Belanda mengembangkan wilayah perkebunan (Onderneming) di daerah Bolaang Mongondow Timur (Boltim) dan Minahasa.

Saat itu komoditi yang dikembangkan di antaranya kopi. Untuk mengembangkan wilayah perkebunan di Boltim, para warga Pinogu dibawa Belanda ke lokasi tersebut.

"Alasannya jarak Pinogu dan Bolaang Mongondow cukup dekat. Hanya turun satu gunung," ujar Om Yos.

Om Yos menjelaskan, di wilayah Onderneming penjajah Belanda sangat teliti. Bahkan saking telitinya, saat para pekerja pulang mereka harus di-sweeping agar tidak membawa pulang biji (benih) kopi.

"Masyarakat Pinogu yang berhasrat menanam kopi di daerahnya harus memutar otak," ungkap Om Yos.

Untuk bisa membawa pulang biji kopi, masyarakat Pinogu harus menelan mentah-mentah biji kopi. Saat pulang mereka pun kembali berupaya mengeluarkan biji kopi itu dengan buang air besar di bawah pepohonan. Hasilnya kotoran yang berisi biji kopi tersebut perlahan ditanam sembunyi-sembunyi masyarakat Pinogu.

"Itu kalau saya bilang sejarahnya itu dari kotoran manusia mereka simpan biji kopi, nanti sepulangnya mereka buang air besar dan itu ditanam dan dipelihara baik, sampai tumbuh dan berkembang," ujar Yos Wartabone kemarin.

Sejak saat itu masyarakat Pinogu mulai menghasilkan kopi. Selanjutnya diolah dengan cara tradisional. Biji kopi yang sudah kering disangrai menggunakan wajan tanah dan kemudian ditumbuk hingga halus.

"Hasilnya itu mereka jual jalan kaki sembari menarik kuda yang memikul kopi di pasar minggu Suwawa. Hingga saat ini masih ada warga Pinogu yang turun menggunakan kuda dan membawa kopi," tandas Yos Wartabone.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.