Sukses

Belajar dari Kasus Nenek Minah Pencuri Kakao

Kasus Deli Suhandi (14) tertuduh pencuri voucher yang diancam 7 tahun penjara seharusnya bisa selesai dengan prinsip restorative justice.

Liputan6.com, Purwokerto - Syahdan, di tahun 2009, republik ini dibuat geram oleh kasus seorang nenek tertuduh pencuri tiga buah kakao di Darmakradenan, Banyumas, Jawa Tengah. Orang itu, Mbok Minah (55), dituduh mencuri tiga buah kakao di Perkebunan Rumpun Sari Antan (RSA). Ia pun dituntut dengan Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pencurian.

Nurani tercabik-cabik. Tiga buah kakao seberat tiga kilogram dengan nilai Rp 30 ribu, menurut jaksa, dan hanya Rp 2.000 per kilogram saat itu di pasaran, menyeret Mbok Minah, si miskin papa ke meja hijau. Nenek Minah divonis bersalah. Ia dihukum 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan.

Contoh lainnya, seorang siswa sekolah menengah pertama, Deli Suhandi (14), sempat meringkuk di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Dia dituduh mencuri sebuah voucher perdana telepon seluler (ponsel) senilai Rp 10 ribu. Deli dikenakan Pasal 363 KUHP tentang Pencurian.

Pengacara Deli menilai kasus ini dapat menjadi rujukan tentang adanya kontradiksi penegakan hukum. Pasalnya, berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penanganan Anak Berhadapan dengan Hukum, seharusnya asas restorative justice atau restorasi keadilan dijalankan.

Sejumlah pengamat hukum pun menilai, kasus semacam Nenek Minah atau Deli bisa diselesaikan dengan mekanisme non-formal, dengan pendekatan restorative justice yang merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.

Ini pula yang kini diupayakan dan diperkuat oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Mereka memperkuat sistem peradilan pidana terpadu, di mana efek jera dan pembalasan tak mesti berbanding lurus dengan turunnya angka kriminalitas.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Peradilan Anak

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal PAS, Ma’mun, mengatakan prinsip pidana restorative justice adalah bahwa hukuman pidana penjara merupakan upaya terakhir. Sebab itu, peran Pembimbing Kemasyarakatan (PK) sangat strategis. Termasuk dalam peradilan anak.

PK memiliki kedudukan penting dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Balai Pemasyarakatan BAPAS. Lebih luas lagi dalam perannya sebagai ujung tombak pemasyarakatan dalam pelaksanaan Sistem Tata Peradilan Pidana Terpadu (STPT).

Menurut dia, PK harus berinovasi, kreatif dan dewasa. Sebab di tangan PK-lah, restorative justice dapat berjalan dengan lancar. Untuk meningkatkan profesionalisme PK, Ditjen PAS menggelar seminar "Penguatan Jabatan Fungsional Pembimbing Kemasyarakatan dan Asisten Pembimbing Kemasyarakatan" di ruang Graha Bhakti Ditjen PAS, Kamis, 21 Desember 2017.

“Tugas PK Bapas ke depan masih panjang, namun kita harus konsentrasi dalam sistem peradilan pidana terpadu, yaitu restorative justice," ucap Ma’mun, dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Kamis malam, 21 Desember 2017.

Ma’mun menjelaskan, tugas pembimbingan kemasyarakatan juga ada dalam sistem peradilan anak. Sebab, pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Proses penghukuman adalah jalan terakhir dengan tetap tidak mengabaikan hak-hak anak.

Selain itu, kasus-kasus anak dapat diselesaikan melalui mekanisme nonformal yang dilakukan dengan pendekatan restorative justice guna memenuhi rasa keadilan bagi korban, sehingga kedua belah pihak dapat saling memaafkan dan tidak ada dendam di antara mereka.

3 dari 3 halaman

Prinsip Keadilan

Ketua Ikatan Pembimbing Kemasyarakatan Indonesia (IPKEMINDO) yang juga Sekretaris Ditjen PAS, Sri Puguh Budi Utami, menambahkan, seminar itu diadakan untuk memperkuat peran PK dalam sistim peradilan terpadu, baik sebelum maupun sesudah proses peradilan.

Pelanggar hukum, baik dewasa maupun anak harus mendapat perlakuan yang adil dalam proses peradilan maupun mendapat bimbingan setelah menjalani hukumannya.

"Peran strategis PK dalam restorative justice merupakan garda terdepan dalam penegakan hukum. Petugas PK adalah orang yang besar yang dilahirkan Tuhan untuk meringankan beban orang orang yang berada di dalam lapas," ujar SPBU, panggilan akrab Sesditjenpas, Sri Puguh Budi Utami.

Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak, Junaedi, menerangkan tugas utama PK adalah pembimbingan, penyusunan litmas pendampingan, dan pengawasan. Hasil infomasi yang diperoleh digunakan sebagai panduan dalam intervensi program. Sebab itu, maka diperlukan orang orang yang berkompeten untuk menjadi PK.

"Syarat menjadi PK selain administratif juga subtantif, diperlukan orang orang yang cerdas yang mampu mengolah informasi menjadi rekomendasi untuk diversi. Tidak mungkin negara tanpa penjara, pemasyarakatan merupakan komponen dalam integrated criminal justice system. Kita titipkan pemasyarakatan kepada kawan kawan PK," Junaedi menegaskan.

Sementara, Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bambang Rantam menyarankan PK dan Asisten PK harus meningkatkan kualitas diri dalam kinerja. Sebab, penilaian PK pada Bapas sangat mempengaruhi keputusan hakim.

Karena itu, PK dan Asisten PK harus meningkatkan kualitas dan kinerja dalam melaksanakan tugasnya sebagai pembimbing pelanggar hukum anak-anak yang berkonflik dengan hukum sejak anak menjalani proses penyidikan, penuntutan serta pengadilan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.