Sukses

Jaksa KPK Tuntut Gubernur Bengkulu 10 Tahun Penjara

Tuntutan terhadap Gubernur Bengkulu nonaktif dan istrinya ini jauh lebih berat jika dibandingkan tuntutan terhadap dua terdakwa lainnya.

Liputan6.com, Bengkulu - Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Gubernur Bengkulu nonaktif, Ridwan Mukti, dan sang istri, Lily Martiani Maddari, masing-masing dengan hukuman pidana selama 10 tahun penjara.

Sidang tuntutan yang digelar Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Kota Bengkulu dipimpin ketua majelis hakim Admiral tersebut disesaki para pengunjung dengan pengawalan ekstra ketat dari aparat kepolisian bersenjata lengkap.

Dalam amar tuntutan yang dibacakan ketua tim JPU KPK Haeruddin itu, selain hukuman pidana penjara selama 10 tahun juga menuntut denda sebesar Rp 400 juta subsider kurungan selama masing masing empat bulan penjara.

"Dengan perintah masing-masing tetap harus ditahan," ucap Haerudin, saat membacakan tuntutan, Kamis (7/12/2017).

Tuntutan yang dibacakan JPU KPK itu membuat para pengunjung sidang terdiam dan menggelengkan kepala. Para simpatisan dan keluarga terdakwa yang memenuhi ruang sidang memang sempat riuh, tapi mereka masih bisa dikendalikan para petugas pengamanan yang memang bersiaga penuh.

Tuntutan terhadap Gubernur Bengkulu nonaktif, Ridwan Mukti dan istrinya ini jauh lebih berat jika dibandingkan tuntutan terhadap dua terdakwa lain, yaitu Rico Dian Sari sebagai perantara suap dan Jhoni Wijaya sebagai pemberi suap. Keduanya dituntut pidana penjara selama lima tahun dan empat tahun penjara.

Perbedaan ini menurut Jaksa Haeruddin, sudah memenuhi rasa keadilan. Beratnya tuntutan tersebut juga dikarenakan terdakwa Ridwan Mukti merupakan penyelenggara negara dan juga sekaligus sutradara atau otak dalam tindak pidana korupsi suap tersebut.

"Ada unsur penyelenggara negara, dalam hal ini penyelenggara negaranya Ridwan Mukti dalam kapasitas sebagai Gubernur Bengkulu," ujar Haeruddin.

Pihaknya hubungkan juga dengan fakta-fakta persidangan yang mengungkap bawa fakta dipersidangan sebagian besar disanggah oleh Gubernur Bengkulu nonaktif, Ridwan Mukti, sebagai terdakwa. Meskipun banyak saksi yang menjelaskan berlainan. Hal tersebut diuraikan dalam hal yang memberatkan dan meringankan. Mengenai fakta-fakta ini menjadi fakta hukum bisa jadi berbeda pendapat dengan tim penasihat hukum maupun dengan para terdakwa.

"Versi kami itu, berdasarkan fakta persidangan dan dari alat bukti yang ada, itulah yang kami tuangkan dalam surat tuntutan. Memenuhi rasa keadilan menurut penuntut umum, setelah melalui proses pertimbangan, itulah yang kami mohon kepada hakim untuk diputus”, ujar Haerudin, usai persidangan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Cabut Hak Politik

Selain menuntut hukuman pidana, tim Jaksa Penuntut Umum KPK dalam persidangan di PN Tipikor Bengkulu juga membacakan tuntutan lain berupa hukuman tambahan khusus untuk terdakwa Ridwan Mukti. Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bengkulu itu juga dituntut pencabutan hak politiknya setelah dia menjalankan hukuman pidana penjara.

"Menyatakan hukuman tambahan terhadap terdakwa Ridwan Mukti berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun setelah terdakwa Ridwan Mukti selesai menjalani pidana pokok," Haerudin menegaskan.

Anggota tim penasihat hukum Ridwan Mukti, Muhammad Rujito menyatakan secara tegas bahwa tuntutan yang dibuat oleh JPU KPK itu sangat subjektif, lebih didasarkan pada pemahaman dan asumsi. Hal tersebut secara gamblang disampaikan oleh Muhammad Rujito usai menjalani persidangan kliennya.

"Tuntutan itu lebih didasarkan pada pemahaman orang. Jadi, pemahaman atau persepsi orang tidak bisa dipergunakan sebagai dasar untuk menghukum orang," ucap Rujito.

Pihaknya juga menyatakan, tidak ada kaitan langsung Ridwan Mukti dengan peristiwa pemberian uang oleh Rico Diansari kepada terdakwa Lily Martiani Maddari. Keduanya merupakan peristiwa yang terpisah.

Menurut dia, rapat pada 5 Juni 2017 dan seterusnya itu peristiwa yang terpisah, yang tidak bisa diukur dari simbol-simbol bahwa peristiwa tanggal 5 Juni itu adalah permintaan uang.

Selain itu, penasihat hukum Ridwan Mukti dan Lily Martiani Maddari tersebut juga secara tegas menyatakan bahwa hak politik kliennya tidak bisa dicabut karena sudah diatur dalam konstitusi.

Terhadap tuntutan tersebut, pihaknya merasa berkeberatan. Sebab hak politik itu secara konstitusional tidak bisa dicabut. Sama halnya dengan hak seseorang untuk mendapatkan pekerjaan.

"Hak politik itu adalah hak konstitusional yang menurut kami tidak bisa dicabut. Menurut kami itu saja," Rujito memungkasi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.