Sukses

Kenduri Cinta Petani untuk Semen Pati

Kenduri Lingkungan mengajak semua kalangan agar menjaga dan melestarikan bumi. Pegunungan Kendeng adalah Kawasan Lindung Geologi.

Liputan6.com, Semarang - "Yen bumi Pertiwi iki (Jika Bumi Pertiwi ini), arep mbok deki pabrik-pabrik (hendak kau dirikan pabrik), Terus mbok tambang rina wengi (lalu kau eksploitasi siang malam). Dudu wong tani thok sing bakale cuthes (bukan hanya petani yang sirna), nanging wit-witan lan kewan-kewan (pepohonan dan binatang), ugo bakale cuthes, cures, tumpes, ludhes (juga akan hilang, sirna, tak berbekas). Dulur-dulur podho congkrah (antar saudara saling berantem), mergo ndiko ngejarke perusak alam (karena kau membiarkan perusak alam), sawangen kae sawah-sawah podho banjir (lihatlah sawah-sawah kebanjiran)."

Geguritan atau puisi bahasa Jawa ini dibacakan seorang pria dengan iket wulung (ikat kepala hitam dengan batik parang di tepinya). Ia berkeliling sambil melihat dan mengitari tumpukan tumpeng.

Sementara, ratusan orang duduk melingkar, sebagaimana orang yang tengah menggelar kenduri. Ya, ini memang sebuah kenduri. Mereka menamakan acara ini Kenduri Lingkungan. Sebuah aksi untuk menolak pendirian pabrik semen di Pati, Jawa Tengah.

Kenduri Lingkungan ini digelar di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah di Kota Semarang, Selasa (5/12/2017).

Menurut juru bicara Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK), Bambang Sutikno, Kenduri Lingkungan ini dilakukan untuk mengajak semua kalangan agar menjaga dan melestarikan Bumi. Pegunungan Kendeng sendiri adalah sebuah pegunungan purba yang menyimpan situs-situs sejarah peradaban.

"Ribuan mata air, gua, dan sungai bawah tanah banyak ditemukan. Sejak dulu pegunungan Kendeng adalah sumber penghidupan kami yang tinggal di sekitarnya," kata Bambang.

Dalam perencanaan, pabrik semen itu akan didirikan di Kecamatan Kayen dan Tambakromo Kabupaten Pati. Investor yang sudah menyanggupi eksploitasi pegunungan Karst itu adalah PT Sahabat Mulia Sakti (PT SMS), salah satu anak perusahaan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.

Dengan khidmad mendengarkan orasi dan pembacaan puisi serta doa atas aksi kenduri lingkungan. (foto : Liputan6.com/felek)

"Selain merusak lingkungan, nasionalisme kami terusik karena penambangnya adalah Heidelberg Cement AG selaku pemegang saham mayoritas. Heidelberg kan berbasis di Jerman," kata Bambang.

Dari dokumen analisis mengenai dampak lingkungan yang dikantongi PT SMS, luas area yang akan dijadikan rencana tapak pabrik seluas 180 hektare. Luasan itu masih dimiliki oleh 569 warga yang tersebar di empat desa. Empat desa ini adalah desa yang sangat produktif dan subur untuk pertanian.

JM-PPK juga menyebutkan bahwa sebelum proses dokumen dampak lingkungan, ada 67 persen warga yang menolak pembangunan pabrik semen itu. Gerakan menyelamatkan pegunungan Kendeng ini juga mendapatkan dukungan dari warga Jerman sebanyak 102.000 tanda tangan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Awal Konflik

Konflik pendirian pabrik semen di Pati berbeda dengan Semen Rembang, meskipun yang akan dieksploitasi adalah pegunungan Kendeng yang sama.

Diawali penerbitan SK Bupati Pati 8 Desember 2014, Nomor: 660.1/4767 tahun 2014 tentang Izin Lingkungan Pembangunan Pabrik Semen serta Penambangan Batu Gamping dan Batu Lempung oleh PT. Sahabat Mulia Sakti di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Dalam izin itu ditegaskan jika selama tiga tahun perusahaan tidak melakukan kegiatan apa pun, izin tersebut kedaluwarsa.

"Namun PT Sahabat Mulia Sakti (Indocement) yang memiliki Izin Lingkungan sejak 8 Desember 2014 tidak pernah melaksanakan kegiatan dan/atau usahanya selama tiga tahun terhitung sejak 8 Desember 2017 nanti," kata Bambang. 

Atas fakta ini, para petani ini kemudian meminta agar izin lingkungan bagi PT Sahabat Mulia Sakti (Indocement) tidak diperpanjang.

"Apalagi areal yang tercantum masuk dalam Kawasan Lindung Geologi berupa Kawasan Bentang Alam Karst dengan adanya lebih dari 110 mata air, 30 gua, sembilan ponor, dan adanya aliran sungai bawah tanah, terpenting sesuai Permen ESDM Nomor 17 Tahun 2012 tentang Kawasan Bentang Alam Karst," tutur Bambang.

Perwakilan JMPK diterima Kepala Dinas ESDM untuk berdialog. Ketiadaan anggaran pembahasan dan keterbatasan wewenang menjadi alasan pemprov Jateng meolak keberatan petani. (foto : Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Dalam pertemuan, Kepala Dinas ESDM Provinsi Jateng Teguh Dwiparyono menjelaskan, pengusulan peripanjangan izin adalah amanah Peraturan Menteri (Permen) dan bukan murni usulan Gubernur. Namun, usulan kabupaten di mana kawasan karst berada.

"Ada yakni dari Blora, Pati, Grobogan. Itu ada FGD dan melibatkan masyarakat bukan buatan Gubernur, namun kerjaan semua. Yang usulkan Gubernur karena lintas, bukan karena itu kerjaan Gubernur," kata Teguh.

Teguh menjamin jika masyarakat menemukan fakta baru yang terkait dengan pelanggaran aturan, maka akan dilakukan revisi terhadap penetapan KBAK yang telah dikeluarkan. Jika ditemukan sungai bawah tanah agar segera diusulkan.

"Sekarang njenengan kan omong tok (kalian kan hanya omong doang, saya tidak pernah terima bukti," kata Teguh.

 

3 dari 3 halaman

Tak Ada Anggaran Pembahasan

Teguh menegaskan, pemerintah provinsi tidak memiliki hak membahas kegeologian. Apalagi tidak ada anggaran untuk pembahasan hal itu.

"Maka, jika ada temuan baru silakan usulkan revisi KBHK kepada kementerian," kata Teguh.

Kenduri Lingkungan ternyata tak sanggup mendukung apa yang disuarakan para petani. Keterbatasan dan ketiadaan anggaran untuk pembahasan masalah geologi, ketiadaan wewenang menangani perizinan menjadi kata pamungkas Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk menutup dialog.

Di gerbang masuk kantor gubernur, puluhan tumpeng masih tersaji. peserta kenduri masih duduk melingkar. Doa dan geguritan masih melantun.

"Duh ibu Pertiwi….(Oh Ibu Pertiwi), kulo sampun kroso (saya sudah merasakan). Bilih ndiko paring pratondo (Kalau kau memberi tanda), banyu, geni, angin (air, api, angin), kabeh bakale podho nagih (semua akan menagih)."

"Duh Ibu Pertiwi….. (Oh Ibu Pertiwi), kula mung petani (saya hanyalah petani). Jane mboten wani (Sejatinya saya tak akan berani), nanging kula mekso (namun saya memaksakan diri). Bumi badhe kula rungkepi (bumi akan saya peluk), banyu badhe kula ayomi (air akan saya lindungi)."

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.