Sukses

Kisah Perjuangan Guru di Sekolah Berbayar Pisang dan Ketela

Liputan6.com, Banyumas - Kampung ini terletak di dataran tinggi kaki Gunung Slamet selatan barat yang masih asri, dikepung oleh hutan lindung di sebelah utara dan perkebunan pinus di sisi timur, barat, dan selatan. Jarak dari jalan raya amat jauh, lebih dari 8 kilometer.

Suhunya dingin. Menusuk-nusuk. Apalagi jika hujan turun sepanjang hari. Dan hujan sepanjang hari, bagi warga Dusun Pesawahan Desa Gununglurah Kecamatan Cilongok, Banyumas, adalah menu sehari-hari. Kabut-kabut berayun di kanopi. Jalan-jalan basah dan licin.

Di tempat ini, MTs Pakis didirikan lima tahun lalu. Dua kali sudah sekolah ini meluluskan siswanya. Angkatan pertama lulus 4 siswa dan angkatan kedua 3 siswa. Kawan di sini menyebutnya lulusan eksklusif, lantaran jumlahnya yang sedikit.

Sekolah didirikan dengan semangat kekeluargaan, gotong-royong, kerelawanan, dan bersandar pada alam. Berbeda dengan sekolah lain pada umumnya, MTs Pakis menerapkan sekolah berbasis agroforestry, atau sekolah alam.

Seperti disebut di atas, para guru atau di MTs Pakis disebut pendamping, tak berbayar. Mereka sukarela mengajar dan mendampingi anak-anak memfoto burung, meniup serbuk bunga atau mengenalkan keyboard komputer di ruang kelas.

Musababnya, sekolah ini memang didirikan untuk mendorong anak-anak pinggir hutan yang rata-rata berlatar keluarga tak mampu. Sebab itu, sekolah alam ini pun tak menarik bayaran saat mendaftar ulang.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Membayar dengan Hasil Bumi

Akan tetapi, orang tua anak-anak ini pun tak lantas melenggang bertangan kosong tatkala mendaftarkan anak mereka. Mereka membawa hasil bumi, seperti beras, pisang dan ketela. Dan para pengajar pun, menerimanya dengan gembira.

Inilah yang disebut sebagai sincerity atau keikhlasan, sesuai dengan nama MTs Pakis yang berarti piety atau kesalehan, achievement berarti prestasi, knowlegde atau ilmu pengetahuan, integrity atau integritas dan sincerity atau keikhlasan.

Pun dengan Kepala Sekolahnya, Isrodin. Ia adalah penanggung jawab operasional kegiatan sekolah, sekaligus guru dan kawan bagi anak-anak ini. Tiap hari, tanpa jeda, ia berkendara sejauh 15 kilometer dari tempat tinggalnya di Desa Kalisari Kecamatan Cilongok, Banyumas.

Sering, jika cuaca tak memungkinkan, ia memilih menginap di asrama pesantren dengan 20 anak yang kini tercatat bersekolah di MTs Pakis. “Sekaligus memang ada program untuk mengaji pesantren,” ujar lulusan Jurusan Manajemen Pendidikan IAIN Purwokerto ini, Sabtu, 25 November 2017.

Betapa lemahnya ekonomi para orang tua itu terekam dari salah satu siswa MTs Pakis. Anak itu adalah Tasiripin (16 th). Beberapa tahun lalu, Tasripin sempat menjadi perhatian nasional lantaran seorang diri mengurus tiga adiknya yang masih kecil-kecil.

Kemiskinan ini pula yang menjadi ganjalan terbesar MTs Pakis untuk meluluskan siswanya. Menginjak tahun ke lima sejak didirikan pada 2013 lalu, MTs Pakis sudah meluluskan dua angkatan. Dari dua angkatan itu, hanya ada tujuh siswa yang lulus. Dua puluhan siswa lebih, sebagian besar berhenti di tengah jalan.

3 dari 4 halaman

Relawan Pengajar Datang Silih Berganti

Isrodin menuturkan, di Dusun Pesawahan, dari 11 kepala keluarga dan jumlah jiwa hampir mencapai 500 orang, pada 2013, hanya ada satu orang yang lulus SLTA. Namun, orang itu bukanlah penduduk asli Pesawahan. Ia adalah pendatang.

Boleh dibilang, tak ada satu pun warga Pesawahan yang lulus SMA. Sementara, dari ratusan warga itu, saat itu hanya ada empat orang yang lulus SLTP

Dengan kondisi yang serba terbatas itu, tak mungkin pula bagi Isrodin untuk menarik biaya bulanan tambahan kepada anak-anak lereng Gunung Slamet ini. Sebab itu, ia pun memutar otak. Ia bertani, memelihara ikan, dan bekerja apa saja untuk menutup defisit keuangan keluarga.

Padahal, kebutuhan keluarga Isrodin semakin besar seiring bertambahnya umur dua anaknya, Neisya Ramadhan Aufa Rinjani (8), yang kini bersekolah di MI Kalisari dan anak keduanya, Ibaneza Zhafran Ona Chandrika (3,5).

Sementara, istrinya, Zuhrotul Latifah hanya bekerja sebagai guru wiyata bakti MI Maarif Kalisari, yang juga bergaji ala kadarnya. Bisa dibayangkan, betapa sederhana kehidupan keluarga Isrodin.

Ketiadaan biaya operasional itu juga membuat relawan pendamping MTs Pakis datang silih berganti. Rata-rata, adalah mahasiswa atau kakak kelas mereka yang kini sudah berkuliah. Mereka, adalah para guru yang benar-benar tanpa tanda saja.

4 dari 4 halaman

Bertani dan Memelihara Ikan

Mereka tak bertahan lama. Begitu lulus, mereka pun kemudian bersemburat mengejar cita-cita, tak bersua lama dengan adik-adik di MTs Pakis.

Di tengah padatnya jadwal, Isrodin juga menjadi pengajar pendamping di sekolah Kader Brilian, sekolah persamaan setingkat SLTA di Desa Singasari Kecamatan Karanglewas. Itu pun, tanpa bayaran.

“Ya terus terang memang serba terbatas. Anak-anak itu berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang keluarga tidak mampu,” dia menerangkan.

Matahari mulai condong ke sisi barat ketika Isrodin beranjak ke ladang. Ia merawat cabai yang sudah berbunga. Bunga-bunga cabai itu adalah lambang harapan, idealisme dan keikhlasannya memberikan kesempatan pendidikan kepada anak-anak pinggir hutan.

Ikan-ikan di kolam berebut daun senthe yang dilempar Isrodin. Setengah tahun lagi, ikan ini bisa dipanen. Ikan itu barangkali akan menjadi bonus semester bagi Isrodin, jika banjir tak lagi menerjang Cilongok, seperti yang terjadi beberapa bulan lalu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.