Sukses

Tarian Klasik Keraton Kanoman Cirebon Memukau Raja-Raja Nusantara

Tari Bedaya Rimbe salah satu karya terbaik Sultan Kanoman Cirebon Raja Muhammad Zulkarnaen pada kurun 1895-1934.

Liputan6.com, Cirebon - Usai mengikuti Kirab Agung Prajurit Keraton se-Nusantara dalam Festival Keraton Nusantara (FKN) XI di Cirebon, Jawa Barat, tamu kerajaan dijamu makan malam di Keraton Kanoman, Cirebon. Di tengah jamuan makan malam, para tamu diminta sejenak untuk menikmati tarian khas dari dalam keraton dan sangat jarang digelar di masyarakat umum, yakni Bedaye Rimbe.

"Tarian ini terakhir kali dipagelarkan sekitar 1967, ketika Sultan Kanoman waktu itu kedatangan tamu dari mancanegara. Tari Bedaya Rimbe pernah dipentaskan di Keraton Mangkunegaran awal 1960-an," kata Patih Kanoman Cirebon, Pangeran Patih Raja Moch Qodiran, Sabtu malam, 17 September 2017.

Dia menjelaskan, Bedaya Rimbe merupakan sebuah karya masterpiece Sultan Kanoman Raja Muhammad Zulkarnaen pada kurun 1895-1934. Tari tersebut adalah satu bentuk repertoar tari kelompok putri yang hidup di Keraton Kesultanan Kanoman, Cirebon.

Patih Qodiran menjelaskan, repertoar tari bersumber pada cerita Menak Jayengrana. Dibawakan oleh enam penari putri keraton yang dipersembahkan dalam setiap upacara kenegaraan Keraton Kesultanan Kanoman pada masa lalu.

Sebagai satu artefak, Bedaye Rimbe memiliki nilai arkais dan artistik yang tinggi sebagai seni klasik istana bernilai historis.

"Bedaya Rimbe yang masih tetap misteri selama lebih dari tiga dekade. Para penari dalam tata cara penyajiannya membuat filosofi tarian ini menjadi bernilai ritual dan sarat akan makna simbolik aristokrasi," ujar Patih Keraton Kanoman Cirebon.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Filosofi Bedaya Rimbe

Patih Qodiran menyebutkan pula, secara keseluruhan, bentuk struktur penyajian Bedaya Rimbe, dilihat dari beberapa aspek tampak memancarkan aura lebih jauh dan memiliki kedalaman makna filosofis.

Aspek tersebut, yakni dari jumlah penari enam orang merupakan manifestasi dari jumlah sosok anggota Ahlulbait. Mereka adalah Rasulullah Muhammad SAW, Sayyidah Fathimah Az Zahra, Sawidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Hasan, Sayyidina Husain, dan Malaikat Jibril dalam ajaran lslam.

Sementara itu, munculnya cahaya dari lilin yang dibawa oleh keenam penari merupakan penanda nilai dari Rukun Iman. Rukun Iman tersebut menjadi cahaya penerang bagi manusia, dalam menjalani kehidupan baik mencari rida Allah SWT maupun dalam kehidupan bermasyarakat.

"Jadi tidak sekadar percikan nilai-nilai artistik semata," tutur dia.

Selain itu, Patih Qodiran, jumlah tiga fase dalam struktur garap penyajian tari tersebut terbilang simbolis. Dia menyebutkan, struktur penyajian Bedaya Rimbe terbagi datam tiga bagian.

Bagian tersebut terlihat dari adanya upaya manifestasi nilai-nilai budaya dari masa periode zaman Sunda Wiwitan. Rinciannya, angka tiga dan enam dalam kosmologi masyarakat Sunda lama yang menganut tata nilai berasaskan "Tilu Tangtu" di Buana (Bumi) memiliki arti yang penting dan spesifik.

"Kalau di Jawa dikenal bilangan penting seperti 4, 8, 16, 32, dan seterusnya. Dalam masyarakat Sunda, bilangan penting berupa 3, 6, 9 dan 12," ujar dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.