Sukses

Mencekoki Jamu Tertua di Yogyakarta

Tidak hanya menurunkan tradisi minum jamu, Jampi Asli, jamu tertua di Yogyakarta memiliki misi mulia untuk pertumbuhan anak-anak.

Liputan6.com, Yogyakarta - Bagaimana jika memiliki anak yang susah makan? Tradisi cekok atau meminumkan jamu pada anak menjadi salah satu pilihan warga Yogyakarta. Tradisi ini bahkan sudah berjalan ratusan tahun seperti di warung Jamu Jampi Asli di Jalan Brigjen Katamso Yogyakarta, tepatnya di sebelah barat THR Purawisata.

Warungnya tidak besar, hanya berukuran tidak lebih dua meter, tetapi memanjang ke bagian dalam. Namun, setiap pagi dan sore hari banyak orangtua yang membawa anak-anaknya ke warung jamu ini.

Joni Wijanarko (52), pengelola Jampi Asli mengaku banyak orangtua yang memercayakan tradisi cekok jamu ini agar si anak mau makan banyak. Ramuan jamu cekok ini dari Jampi Asli generasi pertama, yaitu kakek KRT Kerto Wiryo Raharjo. Dialah yang pertama kali meracik jamu tersebut. Racikan ini turun-temurun hingga ke generasi keempat, yakni ayah Joni, Zaelali.

"Ke sini karena keluh kesah anaknya karena anaknya tidak mau makan. Ya tertua cerita bapak simbah tahun 1875 di sini lalu buatnya di belakang. Pertama KRT Kerto, (kemudian) anaknya Karso Wijoyo, Abdul Rosyid, Zaelali, dan terahir saya ini," ujar Joni, Sabtu, 2 September 2017.

Joni mengatakan pembuatan jamu dari leluhurnya yang berusia ratusan tahun ini berawal dari keprihatinan banyaknya anak kecil yang susah makan. Akhirnya, leluhur Joni mulai meracik jamu cekok ini. Ramuan jamu yang istimewa ini menjadikan warga percaya dengan khasiatnya.

"Kebetulan banyak peminatnya dari generasi dulunya dicekok di sini. Lalu dari mulut ke mulut, Alhamdulillah (setelah) datang ke sini makannya banyak," cerita Joni.

Menurut dia, tidak hanya warga dari dalam Kota Yogyakarta yang sengaja datang membawa anaknya untuk dicekok jamu, tetapi juga warga dari luar kota Yogyakarta, mulai dari Jawa Tengah hingga Jakarta. Bahkan, beberapa warga sengaja menelepon untuk menanyakan lokasi warung Jampi Asli, sebab jamu hanya diminum di lokasi dan tidak bisa dibawa pulang.

"Tidak ada yang bisa dibawa pulang. Hari ini buat ya habis kalau tidak habis ya sama karyawan siapa yang mau bawa," ujar dia.

Joni mengaku setiap harinya lebih dari 50 anak datang ke warung jamunya. Hal ini menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap jamu masih cukup tinggi. Sebelum jam 06.00 WIB, sudah terlihat antrean warga yang menunggu di luar.

"Antusiasme minum jamu masih ada, mungkin ya mantepnya juga setelah datang ke sini terus (anaknya) makan banyak," jelas dia.

Syarat Mujarab Jamu Cekok

Joni mengatakan jamu yang saat ini dibuatnya masih menggunakan kayu bakar dan arang. Menurut dia, jamu yang dibuat tidak akan dimasak menggunakan gas karena akan memengaruhi rasa.

"Dulu masih luas masak jamu di depan warung pakai kayu bakar pakai arang, sekarang (tetap) pakai arang tidak pakai gas karena pengaruh dalam cita rasa," papar dia.

Untuk mencekok jamu ke mulut anak, digunakan kain bersih. Walaupun banyak anak yang meronta-ronta menolak minum jamu ini, tetapi akhirnya jamu tetap tertelan oleh anak dan memberikan khasiat. Namun, khasiat jamu ini dapat maksimal dengan beberapa syarat yaitu dua jam sebelum dicekok sang anak tidak boleh makan apa pun.

"Pakai kain saat dicekok karena memang untuk mengeluarkan cairan dari bahannya memang harus gunakan kain, terserah pakai kain sendiri atau dari sini. Sebelum dikasih, dicek dulu apakah sudah makan atau minum susu. Kalau habis makan atau minum susu ya, dua jam lagi baru ke sini lagi karena semua yang dimakan (akan) keluar," jelas Joni.

Joni menambahkan tidak hanya jamu cekok saja yang dapat ditemukan di warung Jampi Asli, tetapi ada juga jamu untuk penyakit gatal, batuk, masuk angin, galian kakung, galian istri. Setidaknya ada sekitar 25 jenis jamu disediakan di warung ini.

"Ada sehat lelaki, ada buat suami istri banyak yang ke sini," ungkap dia.

Ia mengaku untuk menjaga kualitas jamu ia belanja sendiri bahan di Pasar Beringharjo Yogyakarta. Setidaknya masing-masing bahan 5 kilogram untuk lima hari ke depan. Namun, tidak setiap hari bahan itu akan habis karena melihat cuaca dan musim, seperti saat bulan puasa. Jika puasa dan cuaca tidak cerah, konsumsi jamu juga akan menurun.

"Beli bahan di Pasar Beringharjo. Dulu ada yang suplai tapi lama-kelamaan kualitasnya tidak bagus, akhirnya cari sendiri, jadi kualitas tetap terjaga," kata dia.

Ia mengaku pada 2014 lalu, warungnya mendapat nominasi pelestari adat budaya karena sudah ratusan tahun menjaga tradisi minum jamu. "Kalau nominasi itu kami tidak tahu-menahu karena mungkin ada yang datang ke sini mengamati, kami tidak menawarkan diri. Mungkin dari lamanya sejak 1875," kata dia.

Setiap hari, warung ini buka mulai dari jam enam pagi hingga setengah delapan malam. Joni mematok harga yang sangat terjangkau bagi warga, yaitu hanya sekitar Rp 5 ribu. "Jamu cekok Rp 4 ribu, kalau biasa Rp 5 ribu," kata Joni.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.