Sukses

Cara Desa Terhindar dari Bumerang Dana Desa

Ratusan miliar digelontorkan ke 378 desa di Kabupaten Malang

Liputan6.com, Malang - Serombongan pelajar jalan beriringan pulang sekolah. Dua di antara mereka menghentikan langkah kakinya tepat di depan Balai Desa Tunjungtirto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sejenak keduanya memandang baliho yang memuat rincian dana desa.

Baliho memuat Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes) Tunjungtirto tahun anggaran 2017. Merinci pendapatan, belanja dan pembiayaan desa sampai kegiatan dengan detil anggaran dana desa yang terserap. M. Riko seorang di antara para pelajar itu tahu sekelumit tentang isi baliho.

“Baliho struktur desa. Menjelaskan sumber duit desa dari mana saja dan dibuat apa saja. Dikasih tahu pak Bambang pegawai desa,” kata Riko, di Malang, Selasa (29/8/2017).

Meski sekilas yang dipahami oleh siswa kelas VIII sebuah Madrasah Tsanawiyah itu, Kepala Desa Tunjungtirto, Hanik Dwi Martya sudah cukup lega. Sebab, ada indikasi keberhasilan transparansi pengelolaan dana desa yang diterapkan sejak tahun 2015 silam.

Menurut Hanik, sejak pertama menerima kucuran Dana Desa, pemerintah desa berupaya tak hanya juga memampang laporan lewat baliho. Tapi juga memanfaatkan sosial media sampai website desa untuk memuat rencana pembangunan sampai laporan keuangan desa.

"Itu salah satu strategi agar dana desa ke depan tidak malah menjadi bumerang bagi kami. Nilai dana itu kan besar, kalau tak diantisipasi sejak awal itu bahaya," kata Hanik.

Besaran Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD) di Desa Tunjungtirto terus naik tiap tahunnya. Pada tahun 2015, ADD sebesar Rp 473.534.000 dan DD sebesar Rp 289.759.000. Tahun berikutnya ADD jadi sebesar Rp 484.978.000 dan DD sebanyak Rp 650.402.00. Di tahun 2017 ini ADD sebesar Rp 488.931.000 dan DD sebesar Rp 828.978.000.

Karena besarnya keuangan desa itulah transparansi dan akuntabilitas keuangan tak cukup memanfaatkan teknologi informasi. Dokumen alokasi dana desa juga disebar kepada 13 Ketua Rukun Warga (RW), Badan Perwakilan Desa (BPD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) serta tokoh masyarakat. Isinya, mulai detil berapa dana yang didapat tiap RW, biaya operasional kantor sampai besar tunjangan perangkat desa.

Perwakilan warga turut dilibatkan sebagai tim dalam proses penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) sampai disahkan sebagai APBDes. Sehingga pembangunan desa turut dirancang oleh seluruh warganya berdasarkan kebutuhan mereka.

Sejak tahun ini prioritas anggaran desa tak lagi untuk pengentasan kemiskinan, kesehatan, pendidikan dan infrastruktur saja. Juga menghidupkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang sudah memiliki empat unit usaha berupa pengelolaan sampah, simpan pinjam, pusat kuliner dan Usaha Kecil Menengah (UKM).

"Warga pasti tahu apakah usulan mereka diterima dan dijalankan atau dihapus. Tahun ini harus ada porsi pemberdayaan perekonomian masyarakat," papar Hanik.

Hanik menambahkan, untuk pelaporan keuangan dana desa ada dua model yang diterapkan. Laporan pertama ke Pemerintah Kabupaten Malang tetap merujuk pada aplikasi dan format sesuai perundangan. Sedangkan laporan ke warga desa, dibuat sederhana mungkin tanpa mengurangi isinya.

"Kalau laporan versi pemerintah diberikan ke warga tentu akan membingungkan. Makanya dibuat sederhana tapi isi tetap sesuai aslinya," tegas Hanik.

Saksikan video menarik di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Puluhan Desa Diadukan Terkait Pengelolaan Keuangan

Desa Tunjungtirto adalah satu dari 378 desa di Kabupaten Malang penerima ADD yang bersumber dari APBD dan DD dari APBN. Tiap tahunnya, ratusan miliar rupiah digelontor ke seluruh desa itu dengan nominal yang terus naik. Anggaran rawan diselewengkan jika tak ada transparansi pengelolaannya.

Di Kabupaten Malang, pada tahun 2015 untuk ADD dialokasikan sebesar Rp 178,7 miliar dan DD sebesar Rp 109,4 miliar. Di tahun 2016 untuk ADD naik jadi Rp 183 miliar dan DD sebesar Rp 245,5 miliar. Di tahun 2017 ini ADD menjadi Rp 184,5 miliar dan DD sebesar Rp 312,9 miliar.

Kepala Inspektorat Kabupaten Malang, Tridiyah Maestuti mengatakan, agar tidak ada penyalahgunaan dana desa maka seluruh elemen desa harus terlibat saat penyusunan APBDes.

"Itu menunjukkan transparansi pengelolaan dan benar – benar sesuai kebutuhan masyarakat. Temuan kami, banyak yang belum menerapkan itu sehingga ada pengaduan," kata Tridiyah.

Inspektorat mencatat pengaduan pengelolaan keuangan desa paling banyak di tahun anggaran 2015 dengan 25 pengaduan. Setelah ditelusuri, ada dua desa diduga korupsi dan kini ditangani kejaksaan. Lima desa direkomendasikan mengembalikan uang ke kas desa dan sisanya berupa kesalahan administrasi.

Tridiyah menjelaskan, kesalahan administrasi itu seperti program direncanakan tapi berubah saat pelaksanaan. Atau kebijakan yang dibuat tanpa ada dasar hukum. Pelanggaran paling berbahaya jika sudah direncanakan tapi tidak dikerjakan atau program fiktif. Ada juga pengurangan volume atau mark up anggaran.

"Kami gunakan metode audit kinerja untuk menelusuri laporan keuangan desa. Memeriksa seluruh sumber dan audit akuntabilitas terkait kepatuhan terhadap perundangan," ujar Tridiyah.

Terhitung awal September nanti, Inspektorat bakal mengaudit laporan keuangan di 120 desa untuk tahun anggaran pertengahan 2016. Sedangkan di tahun 2017 ini rata – rata masih banyak desa yang belum secara utuh menggunakan keuangan mereka.

Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Malang, Sri Machiarini mengatakan, untuk pencairan DD tahap I hampir seluruhnya sudah dicairkan ke desa.

"Hanya ada satu desa yang belum dicairkan yaitu Desa Bocek, Karangploso karena tak bisa memenuhi persyaratan," ujar Sri.

Sedangkan DD tahap II sudah mulai bisa dicairkan ke desa sejak 18 Agustus dengan syarat ada laporan realisasi penggunaan dana di tahap pertama. Seluruh dokumen bakal diverifikasi lebih dulu oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa.

"Kalau verifikator menyatakan beres dokumennya ya kami tinggal mencairkan," ucap Sri.

3 dari 3 halaman

Menguji Kepatuhan Pemerintah Desa

Koordinator Program Studi Profesi Akuntansi Universitas Airlangga Surabaya, Zainal Fanani mengatakan, banyak masalah pengelolaan keuangan desa lantaran pemerintahan desa tak mau memenuhi UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dan Permendagri 114 tentang RPJMDes.

"Sebenarnya regulasi itu kan sudah jelas, tapi ini juga menyangkut perilaku orang. Perencanaan dituangkan dalam dokumen, tapi pelaksanaannya tak ada apa – apa alias fiktif," ujar Zainal.

Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan Masyarakat Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Jawa Timur ini menambahkan, sesuai perundangan pengelolaan keuangan desa harus berdasarkan perencanaan dan untuk pemberdayaan masyarakat melalui BUMDes.

Ketidakpatuhan terhadap perundangan juga menyebabkan kepala desa merasa dana itu sepenuhnya sebagai hak tunjangannya. Potensi mark up harga dan rekayasa sering teradi terutama saat pengadaan barang dan jasa. Laporan keuangan pun rawan dimanipulasi.

Zainal mengkritisi kebijakan pemerintah daerah yang tak transparan dalam menentukan besaran dana tiap desa. Peraturan bupati tentang dana desa tak terpublikasi secara luas. APBDes yang diserahkan pemerintahan desa tak dibuka ke khalayak umum.

"Sehingga berapa yang didapat antara satu desa dengan desa lain tidak terukur. Penentua besaran ADD misalnya, rawan nepotisme," ucap Zainal.

Menurutnya, sistem saat ini sudah baik jika pemerintah desa mematuhi perundangan dan pengelolaan sistem keuangan desa atau siskeudes yang dibesut oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Aplikasi ini sederhana penerapannya mulai proses perencanaan sampai pelaporan keuangannya dan sudah dipelajari kepala desa sampai bendahara desa.

"Sebaik apa sistem itu tetap tak berguna kalau perilakunya bermasalah. Pemerintahan desa sudah mempelajari sistem siskeudes itu, tapi kalau mental korup ya susah," tegas Zainal.

Ia menyebut transparansi pengelolaan keuangan desa serta pelibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan bisa menekan potensi korupsi. Selain itu harus ada mekanisme pengaduan dan penanganan dugaan penyalahgunaan dana desa yang lebih tegas. Apalagi masih sedikit desa yang mau transparan dan bisa mempertanggungjawabkan keuangan desa.

"Seperti Desa Tunjungtirto itu desa yang ideal, tapi tak banyak desa yang mau meniru atau berusaha seperti itu," kata Zainal.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.