Sukses

Tolak Eksekusi Cagar Budaya, Kaum Sunda Wiwitan Tidur di Jalan

Kesaksian dari para sesepuh Sunda Wiwitan di Kuningan tidak dicatat dalam pengadilan karena agama mereka tak diakui negara.

Liputan6.com, Kuningan - Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan terus berupaya berjuang mempertahankan tanah adat wilayah cagar budaya Gedung Paseban Tri Panca Tunggal di Desa Cigugur, Kabupaten Kuningan, dari rencana eksekusi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri (PN) Kuningan, Kamis (24/8/20217).

Puluhan masyarakat adat Sunda Wiwitan Kabupaten Kuningan berkumpul. Mereka dibantu sejumlah LSM mengadang tim eksekusi lahan yang hendak memasuki kawasan cagar budaya dengan tidur di jalan.

"Kami menolak tunduk dan tidak ingin tanah leluhur kami dieksekusi," kata salah seorang perwakilan masyarakat adat Sunda Wiwitan, Okki Satria.

Dia mengatakan, dalam putusan eksekusi Tanah Adat Blok Mayasih ini, masyarakat adat dirugikan atas Putusan Pengadilan Negeri Kuningan No.07/Pdt.G/2009/PN.Kng tanggal 18 Januari 2010 juncto Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No.82/Pdt/2010/PT.Bdg tanggal 5 Mei 2010 jo. Putusan Mahkamah Agung RI No.2394K/Pdt/2010 tanggal 12 Januari 2012 jo. Putusan PK No.21 PK/Pdt/2014 tanggal 18 Juni 2014.
 
Masyarakat Sunda Wiwitan juga pernah mengajukan gugatan perlawanan terhadap putusan PK atas putusan Pengadilan Tinggi Bandung. Namun, gugatan tersebut seakan tidak ditanggapi hingga eksekusi tetap berlanjut.

"Kami melihat banyak kejanggalan, makanya kami di sini menghalangi eksekusi," ujar dia.

Okki menilai putusan tersebut menunjukkan sikap negara dalam memandang dan mengakui hukum adat itu masih sangat kurang. Akibatnya, perspektif Tanah Adat dilihat dengan kacamata hukum waris dan menimbulkan karut-marut dalam menjalankan putusan eksekusi.

"Saksi dari sesepuh Adat karena tidak disumpah sesuai agama yang diakui negara, maka kesaksiannya tidak dicatat dan banyak kejanggalan lain. Ini yang berujung terjadi perlawanan masyarakat Adat Karuhun Sunda Wiwitan," kata dia.

Masyarakat menganggap majelis hakim keliru memahami objectum litis-nya. Hakim, kata dia, memahami objectum litis-nya sebagai sengketa waris. Padahal, jelas bahwa objectum litis-nya bukan sengketa soal waris, melainkan sengketa atas Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang terjadi di internal masyarakat hukum adat.

Kekeliruan mempertimbangkan hukum tersebut berdampak pada hilangnya tanah milik adat.

"Hilangnya tanah adat kami hanya atas dasar pernyataan dan keterangan pihak ketiga mantan juru tulis yang tidak jelas dan tidak mendasar pada sejarah. Kesaksian dari Pupuhu Adat yang mengetahui asal-usul tanah di persidangan tidak menjadi pertimbangan hukum karena tidak disumpah dengan alasan menganut agama leluhur Sunda Wiwitan," tuturnya.

Sengketa lahan itu dipicu adanya gugatan dari salah satu keturunan pangeran, yaitu Jaka Rumantaka. Jaka mengklaim tanah adat Sunda Wiwitan yang luasnya sekitar dua hektare itu adalah warisan milik pribadinya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Asal Usul Masyarakat Adat Sunda Wiwitan Kuningan

Salah seorang masyarakat Adat Karuhun Sunda Wiwiran Kabupaten Kuningan, Dewi Kanti, menjelaskan, KUR merupakan kesatuan masyarakat yang berpegang teguh pada hukum adat leluhurnya. Mereka terbentuk jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri.

Pangeran Sadewa Madrais Alibasa Kusuma Wijaya Ningrat adalah sesepuh adat pendiri komunitas tersebut. Pada masa penjajahan VOC, ia menjadi tokoh gerakan kebangkitan kebangsaan melalui gerakan kebudayaannya.

"Dengan memberi pencerahan dan penguatan pada komunitasnya akan kesadaran dan kepercayaan diri dalam menegakkan karakter bangsa," kata Dewi.

Menggali ajaran spiritual leluhur yang dikenal dengan Ajaran “Igama Djawa Soenda Pasoendan”, eksistensi komunitas adat ini mengalami jatuh bangun lewat pengakuan politik penguasa.

Dewi Kanti mengatakan, sejak berdirinya NKRI, komunitas ini tetap mempertahankan tradisinya. Terlebih sejak 1965, pemerintah lewat PNPS Nomor 1 Tahun 1965 menjadikan aturan ini diinterpretasikan oleh masyarakat luas pada pembatasan pengakuan agama oleh negara.

Dampak politik identitas tersebut, lanjut Dewi, dirasakan oleh komunitas dan memuncak pada 1964. Yakni terjadi kriminalisasi atas legalitas perkawinan dan hak keperdataan sebagai warga negara yang dianggap tidak sah oleh negaranya sendiri.

Secara turun-menurun, komunitas adat ini tunduk pada hukum atau ketentuan yang ditulis tangan sesepuh adatnya langsung, yaitu Pangeran Madrais yang disebut dengan manuskrip.

Dalam manuskrip tersebut terdapat sistem ajaran peraturan mengenai pertanian, perbintangan, dan kehidupan sesama. Dalam masnukrip tersebut juga disebutkan bahwa kepemilikan tanah oleh sesepuh adat adalah milik komunal dan tidak dapat dibagi atau diwariskan.

"Dari beberapa temuan manuskrip secara tegas terdapat penegasan atas pengelolaan aset komunal untuk kepentingan umum dan tidak untuk dibagi-wariskan kepada pihak keluarga ataupun keturunan," ujar dia.

Kebijakan tersebut dilanjutkan oleh Sesepuh Adat generasi kedua, yaitu Pangeran Tedja Buana (1948). Untuk meyakinkan terlaksananya amanat tersebut, secara khusus Pangeran Tedja Buwana memberikan pernyataan dan penegasan mengenai hibah kepada perwakilan masyarakat dan lembaga yang ditunjuk, yaitu Yayasan Tri Mulya.

Pada 1976, Yayasan Tri Mulya mengajukan perlindungan Gedung Paseban Tri Panca Tunggal sebagai cagar Budaya. Melalui SK Direktur Direktorat Sejarah dan Purbakala Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No 3632/C.1/DSP/1976 ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.