Sukses

Warga Manado Gemar Konsumsi Daging Ular Piton, Tren atau Tradisi?

Sejumlah supermarket di Manado menjual daging ular piton dengan alasan bagian dari kearifan lokal, benarkah?

Liputan6.com, Manado - Heboh penjualan daging ular piton di sejumlah supermarket di Manado mendapat beragam tanggapan. Ada yang menganggap hal lumrah. Sementara, pihak pengelola supermarket menyebut itu sesuai kebutuhan pasar dan sudah menjadi kearifan lokal warga Minahasa. Benarkah demikian?

Etnis Minahasa merupakan salah satu etnis terbesar yang mendiami Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara. Etnis ini terbagi dalam beberapa sub-etnis, seperti Tombulu, Tolour, Tountemboan, Tonsea, dan lainnya.

Salah satu pegiat budaya Minahasa, Denni Pinontoan mengungkapkan, orang Minahasa menyebut ular jenis piton dengan nama tumotongko. Dalam bahasa Manado Melayu disebut patola.

"Ular jenis ini sudah dikenal lama oleh orang Minahasa. Terbukti ada satu legenda dalam kumpulan cerita-cerita tua yang dikumpul oleh J Albt Schwarz yang menceritakan tentang tumotongko," kata Denni kepada Liputan6.com, Selasa (4/7/2017) pagi.

Denni mengatakan, banyak binatang bagi leluhur Minahasa, termasuk ular piton, dianggap sakral karena dipercaya memberi tanda baik atau buruk.

"Misalnya yang masih sering terdengar, kalau lagi melakukan perjalanan lalu tiba-tiba ada ular memotong jalan, dianjurkan untuk berhenti sejenak. Karena bisa saja ular itu memberi tanda akan ada sesuatu yang buruk akan terjadi di depan," tutur Denni yang juga dosen di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Tomohon ini.

Meski begitu, dalam tradisi berburu orang Minahasa di hutan, tidak dikenal pemburu spesialis ular. "Yang ada spesialis babi utang (babi hutan), tikus dan kelelawar atau peret," ujar dia.

Denni mengatakan, kebiasaan makan daging patola atau tumotongko atau piton merupakan tren yang berkembang belakangan, entah sejak kapan.  Namun, ia menduga kebiasaan mengonsumsi daging ular lebih karena dipengaruhi tren memakan daging hewan yang disebut berkhasiat untuk suatu penyakit.

"Namun, itu masih perlu diteliti lagi," ujar pengiat budaya dari Mawale Movement ini.

Secara objektif, ucap dia, hanya orang-orang tertentu yang "doyan" makan daging patola. Hal itu berbeda dengan konsumsi daging anjing dan daging babi oleh warga Minahasa.

"Itu salah satu bukti saya menyebut makan daging ular patola itu tren belakangan. Saya sendiri tidak terlalu hobi makan patola. Kalau tikus, kodok, RW (anjing), hobi sekali," ujar Denni.

Sementara itu, Steven Tuwondila, warga Kecamatan Amurang Timur, Kabupaten Minahasa Selatan, mengaku sangat doyan mengonsumsi daging ular piton. "Selain rasanya yang enak, juga diyakini berkhasiat menyembuhkan penyakit tertentu. Kalau di setiap acara makan-makan, yang lebih dulu saya cari adalah daging ular," ujarnya.

Sebelumnya, foto daging ular piton yang sudah dipotong-potong dan dijual di Transmart Manado sempat menghebohkan warganet beberapa hari belakangan. Hendra Simbolon, Store Manager Transmart Bahu Manado, mengakui pihaknya menjual daging ular piton karena memang menjadi kebutuhan masyakarat.

"Karena tidak ada larangan oleh pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Apalagi dari warga Manado sendiri, karena memang ini bagian dari kearifan lokal. Buktinya dalam setiap acara pesta, daging ular yang paling dicari," ujar Hendra.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.