Sukses

Warga Desa Grinting Brebes Melawan Stigma Kampung Pengemis

Sebutan kampung pengemis selalu diembuskan jelang Lebaran. Hal itu membuat anak Desa Grinting trauma, dan orang-orang dewasa sakit hati.

Liputan6.com, Brebes - Di awal 80-an, Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, dikenal sebagai kampung pengemis karena banyak warganya bermigrasi ke kota-kota besar, khususnya Jakarta, untuk menjadi pengemis. Namun, wajah kampung itu kini berubah 180 derajat.

Meski demikian, stigma kampung pengemis seakan tertancap dalam. Stigma itu bahkan membuat Budi, bukan nama sebenarnya, menelan ejekan teman-temannya di sekolah. Saking pedasnya ejekan para temannya, ia memilih tak bersekolah selama beberapa hari terakhir.

Kepada kedua orangtuanya, Budi hanya terdiam dan sesekali menangis di dalam kamarnya seorang diri. Karena mengalami trauma, Budi untuk sementara waktu beristirahat di rumahnya.

"Sudah puluhan tahun warga kami dipermalukan, direndahkan harga diri, dan dituding sampai sekarang jadi kampung pengemis. Kalau zaman dulu memang ada beberapa warga sini yang mungkin merantau menjadi pengemis, tapi itu sudah lama sekali. Sekarang ini warga kami yang perantauan tidak berprofesi seperti itu," ucap Wamadiharjo Susanto, tokoh masyarakat desa setempat, kepada Liputan6.com, Selasa (13/6/2017).

Karena stigma itu, ia tak sampai hati melihat bocah yang masih duduk di bangku SD Negeri harus menerima kenyataan dipermalukan teman sekolahnya hanya karena berasal dari Desa Grinting.  

"Enggak kuat diolok-olok temanya di sekolah, akhirnya bocah itu nggak mau berangkat sekolah trauma takut di-bully terus kalau di sekolah," ucap Wamadiharjo.

Namun, sebutan sebagai kampung pengemis kembali disematkan melalui pemberitaan di salah satu stasiun TV swasta nasional beberapa hari lalu. Hal itu, tuturnya, kembali menggores luka di hati 17.800 warga Desa Grinting. Pasalnya, kondisi itu sudah jauh berbeda dengan fakta saat ini.

"Anggapan seperti ini sangat nista sekali. Warga kami yang perantauan tidak berprofesi sebagai pengemis. Tapi, banyak yang dagang soto Betawi, dagang di pasar hingga dagang makanan lainnya di perantauan," ucapnya.

Di dalam pemberitaan investigasi berdurasi sekitar 30 menit itu, narasi yang disampaikan banyak tak sesuai dengan fakta di lapangan. Terlebih, pemberitaan itu tak dikonfirmasikan dengan pihak pemerintah desa ataupun warga asli desa setempat.

"Memang ada wawancara dengan Ibu Bupati Idza Priyanti, tapi itu disampaikan secara umum saja dan tak mendetail," kata Wamadiharjo yang juga anggota DPRD Brebes dari Fraksi PKS itu.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Jadi Kampung Produktif

Untuk itu, ia pun segera menggelar pertemuan besar dengan warga desa untuk membahas persoalan yang setiap kali jelang Lebaran muncul dan membuat sakit hati.

"Setiap kali jelang Lebaran ini, sekitar 10 tahun mungkin, selalu informasi ini yang diembuskan. Coba datang ke sini, lihat sendiri kehidupan warga Desa Grinting yang semakin menggeliat perekonomiannya," ujarnya.

Menurut Wamadiharjo, warga Grinting Brebes di perantauan seringkali diperlakukan tak enak gara-gara stigma kampung pengemis itu. Padahal, hal itu tidak lain akibat kebohongan yang disampaikan oleh para pengemis di Ibu Kota.

"Pengemis yang sampai saat ini masih banyak di Jakarta khususnya, bukan berasal dari luar daerah, tapi mengaku saat ditanya dari Grinting Brebes. Jadi, kroscek dulu kalau memang ingin mengetahui kebenarannya," ujar dia.

Protes keras juga disampaikan Kepala Desa Grinting, Hartono. Ia menganggap apa yang diberitakan di stasiun TV nasional itu tidak seimbang dan seakan-akan merendahkan warganya.

"Ini tidak bisa diterima. Tudingan kampung pengemis itu salah besar dan sama saja merendahkan warga kami," kata Hartono.

Menurut dia, sebutan kampung pengemis yang dituduhkan kepada warga Desa Grinting saat ini tak sesuai dengan kenyataan.

"Silahkan di-kroscek kembali dan kalau memang ada tunjukkan banyak warga kami yang benar-benar jadi pengemis sekarang ini. Jangan hanya menduga-duga saja dan tanpa bukti yang mendasar," katanya.

Informasi yang diterima Liputan6.com, dari total jumlah warga mencapai 17.800 orang, sekitar 20 persen di antaranya berpindah ke Jakarta dengan bermacam-macam profesi, seperti menjadi pemulung, usaha rongsok, dagang mainan, dan dagang plastik.

Kondisi desa serta tempat-tempat usaha yang dijalankan oleh warga Grinting juga berkembang pesat. Hal itu terlihat dari jumlah pasar yang jumlahnya ada tiga di Desa Grinting. Selain itu, tambak, peternakan ayam serta lapak bawang merah berkembang luas yang menggambarkan dinamika perekonomian warga Grinting benar-benar mandiri.

Untuk sampai di Desa Grinting, dari jalur Pantura masuk ke arah utara, jaraknya kurang dari 1 kilometer. Jalanan di desa yang luasnya 1.300 hektare itu sebagian besar sudah beraspal. Bahkan, akses jalan yang menuju areal persawahan maupun tambak pun sudah diaspal, meski sebagian kondisinya ada yang masih rusak.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini