Sukses

Jawa, Cina, Arab Bertemu di Lampion Tengtengan Semarang

Liputan6.com, Semarang - Semarang ternyata memiliki sebuah lampion yang khas dan berbeda dengan lampion dari kota lain. Namanya teng-tengan. Pusat pembuatan dan satu-satunya ada di sebuah kampung bernama Purwosari Perbalan.

Sejarawan dan budayawan Semarang Djawahir Muhammad mengatakan bahwa nama tengtengan bisa merujuk pada dua hal. Pertama, karena lampion Semarang itu dibawa dengan ditenteng. Awalnya disebut lampion tentengan, lama-lama pengucapan berubah menjadi tengtengan

"Pendapat kedua, nama tengtengan merujuk pada kosa kata ting (huruf i dibaca seperti huruf e pada kata tempe). Sebuah lampion yang berarti lampu dan sampai sekarang masih dilestarikan di Solo. Karena berbeda maka disebut ting-tingan atau ting mainan. Lama-lama berubah menjadi tengtengan," kata Djawahir kepada Liputan6.com, Minggu, 4 Juni 2017.

Tengtengan Purwosari sendiri pertama kali diperkenalkan pada 1942. Saat itu nama tengtengan dikenal dengan nama dian kurung, artinya lampu yang dikurung.

Anatomi tengtengan terdiri dari rangka dari bambu. Awalnya berbentuk segiempat dan berfungsi sebagai penerangan. Namun pada perkembangannya kini ada berbagai bentuk. Umumnya segiempat dan segi delapan.

Pada bagian dalam, ada rangka lain yang ditempel potongan kertas berbagai motif. Mulai binatang hingga pesawat terbang. Jika lilin yang berada di bagian tengah dinyalakan, udara panas akan memutar bagian dalam itu, sehingga potongan kertas berbagai bentuk itu berputar dan memberi bayangan yang menarik.

Menurut Junarso, pembuat lampion tengtengan ini, ia hanya memproduksi tengtengan saat bulan Ramadan saja. Merujuk pada sejarahnya bahwa tengtengan ini awalnya dibuat sebagai penerangan.

"Pada tahun 1942 itu wilayah Purwosari sangat gelap. Yang akan ke musala kemudian membawa obor. Agar anak-anak senang ke masjid atau musala, maka dibuatkan obor yang bisa untuk mainan. Jadi saat Ramadan memang tengtengan dibuat khusus," kata Junarso.

Namun jika tidak bulan Ramadan, Junarso tetap memproduksi dan dijual di kampung-kampung sesuai pemesan. Biasanya untuk keperluan pawai dan sejenisnya.

Harga tengtengan ini tergolong murah, Rp 15 ribu/buah. Dalam sehari Junarso bisa menjual antara 50-100 tengtengan..

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Perlengkapan Dakwah

Sementara itu menurut Tunut Sofani, sesepuh Purwosari yang menjadi takmir Musala Ata'k Awwun, tengtengan sebenarnya bisa juga dianggap sebagai salah satu media dakwah. Pada masa kecil Tunut, yakni sekitar 1960, masyarakat membawa tengtengan sambil berselawat.

"Tentu sambil berjalan menuju musala. Menurut saya, tengtengan ini bisa menjadi simbol keberagaman. Karena merupakan perpaduan dari tiga etnis, yaitu bambu sebagai penyangga bagian dari etnis Jawa, kertas minyak dari etnis Cina, dan putaran di dalam kurungan merupakan etnis dari Arab," kata Tunut.

Kini Purwosari masih menjadi kerajaan bagi lampion khas Semarang yang bisa berputar dan berbeda dengan dian kurung ala Gresik maupun ting gaya Solo. Masyarakat Purwosari juga berharap tradisi ini akan hidup sampai kapan pun.

Seorang warga Purwosari Semarang memasang tengtengan di teras depan sebagai penerangan. (foto : Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Muhammad Saichu, warga Purwosari, menyebutkan bahwa salah satunya adalah dengan menjadikan kampung Purwosari sebagai kampung tematik, yakni Kampung Lampion. Dengan cara seperti itu, diharapkan semua acara Pemerintah Kota Semarang yang menggunakan lampion bisa memanfaatkan keterampilan warganya sendiri.

"Perputaran uang ada di warga Semarang. Kalau sekarang kan lampion pakai lampion yang didatangkan dari luar. Saya yakin Pak Hendi pasti setuju dengan ide kampung lampion ini," kata Saichu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.