Sukses

Langkah Keren Guru SD Hadapi Kebakaran Hutan Riau

Seorang guru SD memiliki lahan gambut yang kedalamannya 9 meter. Dia menolak kembali menanam sawit.

Liputan6.com, Bengkalis - Tak ada yang bisa dilakukan Muhammad Nur ketika 13 hektare lahannya dilumat api pada 2008 silam. Angka itu merupakan bagian dari ratusan hektare yang terbakar di Desa Tanjung Leban, Kabupaten Bengkalis, Riau.

Usai kebun sawit dan karetnya porak poranda oleh api, tak banyak yang bisa dilakukannya. Apalagi usai kejadian, lahan berstruktur gambut dengan kedalaman rata-rata 9 meter miliknya sering terendam air karena rusak akibat kebakaran hutan.

"Tak ada tersisa, semuanya terbakar. Padahal, saat itu sawit sudah mulai bisa dipanen, pendapatan jadi berkurang," kata Nur kepada wartawan yang berkunjung ke lokasi kebakaran itu pada 20 Mei 2017 lalu.

Usai kejadian tersebut, guru SD 24 Tanjung Leban itu tak lagi menanami seluruh lahannya dengan sawit. Dia kemudian menanam tanaman kehidupan untuk masa depan dengan tujuan pengingat bagi generasi mendatang.

Beberapa hektare lahannya ditanami kayu hutan alam, seperti Meranti, Kelat, dan Jelutung. Sejak ditanami memang belum ada nilai ekonomis yang diperoleh. Namun, itu tidak menjadi masalah baginya.

"Saya hanya ingin anak cucu ataupun generasi mendatang tahu kalau di sini (Riau) dulu pernah ada tanaman ini. Ini sebagai warisan," katanya.

Nur menyebutkan, tanaman yang disebutnya sudah sangat minim di Riau. Dulunya pohon-pohon itu berdiri kokoh sebelum adanya konversi besar-besaran menjadi lahan sawit dan hutan tanaman industri.

Di samping itu, dia menyebut tanaman tadi sangat bersahabat dengan gambut. Ekosistem gambut tetap terjaga sehingga bisa mengurangi emisi karbon terhadap lingkungan.

Hanya saja, pengelolaan lahan gambut tidak mudah. Wajib ada kanal sebagai cadangan air beserta sekatnya untuk menjaga kebasahan gambut, baik pada musim kemarau ataupun hujan.

"Dua hektare lebih ini dikelilingi kanal dan sekat. Gambut ini lain, dia bisa tenggelam kalau terlalu basah dan mudah kering kalau tidak ada cadangan air. Mudah terbakar dan menghasilkan emisi," katanya.

Sebagai perbandingan, Nur juga menanam sawit di lahan gambut miliknya. Hasilnya bisa ditebak, struktur tanahnya lebih gersang meski sudah dibuat kanal beserta sekatnya.

Perawatannya juga lebih susah. Butuh perhatian ekstra dan pemupukan lebih, serta cadangan air lebih besar.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Selalu Basah

Selama merawat gambutnya, Nur mendapat bimbingan Profesor Harris Gunawan dari Pusat Studi Bencana (PSB) Universitas Riau. Dari Harris pula, Nur mendapat 300 bibit pohon Jelutung.

Berkat bimbingan itu, lahan gambutnya selalu basah. Tak ayal kebakaran hebat pada 2013 di desa tersebut tak menyentuh lahannya meski sudah dikelilingi api.

"Selamat karena gambutnya basah. Pohon kehidupan yang ditanam juga masih ada sampai sekarang dan tumbuh besar," ucap Nur.

Kegigihan Nur merawat gambutnya mendapat perhatian dari sejumlah peneliti baik dalam negeri maupun luar negeri, terutama dari segi kelembapan gambutnya.

"Mereka tak ada sewa-sewa (sewa lahan) penelitian. Cuma ada antisipasinya mereka bantu membersihkan (membersihkan kebun). Terutama dari Universitas Riau, peneliti Jepang dan Cifor (lembaga penelitian hutan)," tegasnya.

Pertengahan Mei lalu, Centre for International Forestry Research (Cifor) mengumpulkan data dari lahan milik Muhammad Nur. Lembaga nonpemerintah ini tengah mengumpulkan data kondisi lahan gambut alami yang masih terjaga di Riau.

Penelitian ini dipimpin oleh Prof Daniel Murdiyarso Phd bersama dua orang peneliti anggota dari Cifor. Data lahan gambut dikumpulkan selama bertahun-tahun. Ini dilakukan guna mengukur kadar karbon yang tersimpan dan yang dilepaskan di dalam kawasan lahan ideal milik Nur.

"Membasahi gambut, tujuannya untuk mengembalikan kondisi awalnya. Jika ingin memanfaatkannya kalau mau, harus dalam keadaan basah. Kalau tidak basah, ya tidak bisa berkelanjutan dimanfaatkan," kata Daniel

"Kalau dikeringkan memanfaatkannya, ya akan umurnya pendek. Dia akan kolaps, lalu rentan kebakaran. Ini yang harus diantisipasi. Reweeting atau membasahinya itu yang perlu dilakukan," tambah Daniel.

Hasil penelitian Profesor Daniel juga mengungkapkan tanaman kelapa sawit tidak bisa dibudidayakan di lahan gambut. Selain hasil buahnya yang tidak maksimal, kondisi lahan gambut yang dikeringkan untuk tanaman kelapa sawit akan rentan terbakar dan tidak bisa lagi kembali ke kondisi semula, lahan akan rusak.

"Lahan gambut basah kalau dimanfaatkan sawit akan mempengaruhi umur dan produksinya. Pohonnya bisa miring. Sebaiknya ya memang tidak (tidak budi daya kelapa sawit), bisa sih asal tidak besar, luas lahan gambut," tandasnya.

Daniel menyebutkan, kondisi lahan Nur perlu dikembangkan ke lahan lain milik masyarakat yang berada di kawasan gambut berkedalaman lebih dari lima meter. "Manfaatnya ekosistem kembali normal, tidak jangka pendek," jelasnya. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.