Sukses

Sulitnya Petani Lokal Tembus Pasar Minyak Sawit Internasional

Liputan6.com, Palembang - Penetapan regulasi suplai Crued Palm Oil (CPO) atau minyak sawit yang ketat ke beberapa negara besar di dunia berdampak besar terhadap upaya peningkatan kualitas hasil panen kelapa sawit di Indonesia.

Kepemilikan sertifikat Indonesian Substainable Palm Oil System (ISPO) pun semakin menjadi prioritas pengelola kelapa sawit di Indonesia. Tujuannya untuk memperlebar peluang suplai ke pasar internasional.

Corporate Liaison Coordinator Zoology of Society London (ZSL), Bustandi Jamal mengatakan, ada empat pasar internasional yang menjadi konsumen CPO Indonesia. Yaitu negara-negara di Eropa, Amerika, China, dan India.

Penerapan regulasi yang cukup tinggi di Eropa dan Amerika berdampak pada kecilnya persentase konsumsi CPO Indonesia. Bahkan, CPO Indonesia hanya bisa tembus sebesar empat persen dari total konsumsi di pasar tersebut.

"Walau persentasenya kecil, tapi tetap regulasinya tinggi. Mereka tidak mau kalau tidak memenuhi standar regulasi," ujarnya kepada Liputan6.com, Rabu, 27 April 2017.

Karena konsumsi yang minim, minyak sawit Indonesia dilempar ke pasar Asia, seperti negara China dan India. Kendati konsumsinya besar, namun harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan patokan harga di pasar Eropa dan Amerika.

Kontribusi petani sebesar 40 persen dari total produksi minyak sawit dunia. Untuk itu, ZSL melalui Program Kemitraan Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan Sembilang-Dangku (Kelola Sendang) mendorong para pemilik perkebunan kelapa sawit agar segera mengantongi ISPO.

Salah satunya dengan memberikan pelatihan manajemen perkebunan seperti sistem penelusuran buah, pengelolaan pantauan dan lingkungan seperti pengendalian kebakaran, flora dan fauna, Nilai Konservasi Tinggi (NKT) dan penggunaan Spatial Monitoring and Reporting Tool (SMART).

"SMART digunakan untuk monitoring dan database di lapangan, seperti perburuan satwa, illegal loging, titik api dan penggunaan racun hama. Database-nya dibuat dalam tampilan android," kata dia.

Seperti Roundtable on Substainable Palm Oil (RSPO) di Amerika, pemilik ISPO juga harus bisa berkomitmen terhadap tanggung jawab lingkungan, konservasi sumber daya alam, pengelolaan pengolahan kelapa sawit yang berkualitas dan transparansi asal kelapa sawit tersebut.

Ketika ada salah satu hasil olahan CPO bermasalah di pasaran, lanjut Jamal, transparasi data seperti badge number, dari kebun mana dan petani mana yang menyuplai sangat bermanfaat untuk menelusuri sumbernya. Kualitas tandan buah segar (TBS) yang menghasilkan CPO yang bagus, biasanya berasal dari kebun inti yang dikelola oleh perusahaan. Terlebih pabrikan kelapa sawit besar sebagian besar sudah mengantongi ISPO.

Sedangkan kebun plasma dan kebun swadaya yang dikelola petani mandiri, pengelolaan lahan kelapa sawit masih belum bagus, sehingga menghasilkan TBS yang kurang berkualitas. Bahkan di Sumsel, populasi perkebunan plasma masih kurang dari dua persen.

Total lahan kebun sawit di Indonesia sendiri seluas 7,8 juta hektare, di mana 30 persen berada pada kebun rakyat yang terdiri dari petani swadaya dan petani plasma. Dari 1.200 pengelola perkebunan sawit tersebut yang mengantongi sertifikasi sekitar 260 pengelola.

"Kita juga berupaya meningkatkan kebun plasma, agar berdampak juga pada peningkatan perekonomian para petani lokal. Karena kebutuhan TBS di pabrikan juga besar, untuk mengisi kekurangan ini bisa dipasok dari kebun petani lokal," ujar dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kendala Petani Lokal

Ada beberapa kendala yang dihadapi para petani dalam pengelolaan lahan kebun sawit yang benar. Selain dana yang terbatas, pengetahuan bagaimana menghasilkan TBS yang berkualitas juga minim.

Para petani mandiri juga masih menerapkan sistem konvensional seperti penggunaan parakuat peptisida dan pupuk yang tidak terdaftar. Ini juga dilarang pengggunaannya oleh pemerintah.

"Jika tidak segera dibantu, kualitasnya tidak akan sesuai. Jika masih dipaksakan, CPO yang dihasilkan tidak bagus dan hanya dikonsumsi secara lokal saja," ujar dia.

Faktor lain yang menjadi sorotan dunia yaitu masih banyaknya para petani Indonesia yang mempekerjakan anak di bawah umur. Persaingan dengan minyak kedelai dan matahari juga cukup mengimpit suplai CPO Indonesia.

Beberapa isu perusahaan perkebunan di Indonesia yang melakukan deforestasi yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang dilempar pesaing bisnis di negara lain juga turut menjadi sorotan.

Regulasi dan persaingan yang besar inilah yang menjadi tugas ZSL dan Pemerintah Provinsi Sumsel untuk segera diselesaikan. Bersama Dinas Perkebunan (Disbun) pemerintah daerah di Sumsel, pihaknya sudah memetakan potensi pemasaran TBS asal Sumsel.

Salah satunya seperti menggandeng Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan melalui Kedutaan Besar Negara (Kedubes) di masing-masing negara.

Dari data Komisi ISPO, ada sekitar 1.000 perusahaan sawit yang beroperasi di Indonesia. Namun baru 226 perusahaan yang mengantongi sertifikat ISPO.

Pada tahun ini, sebanyak 527 perusahaan kelapa sawit yang mengajukan permohonan sertifikat ISPO di 2017. Di mana, 376 perusahaan sudah menjalankan proses sertifikasi.

Kepala Auditor ISPO Heri Moerdiono mengatakan, dengan peningkatan kepemilikan ISPO di Indonesia, dapat menekan penurunan gas rumah kaca, pelestarian lingkungan, penggunaan tenaga kerja yang sesuai dan pemanfaatan lingkungan berkelanjutan.

Terlebih di tahun 2020 mendatang, penyuplai CPO untuk pasar internasional harus wajib memiliki sertifikat ISO.

"Pemerintah juga akan memberikan sanksi pencabutan izin jika tidak segera memiliki sertifikat ISPO. Kebijakan ini akan direkomendasikan ke pemda setempat," kata dia.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini