Sukses

Pagi di Lereng Merapi Bersama Salak, Sungai, dan Tarian

Desa wisata di lereng Merapi itu memiliki aura gaib yang kuat.

Liputan6.com, Yogyakarta - Hamparan kebun salak di lereng Gunung Merapi menjadi pertanda Anda memasuki pagi di Desa Wisata Pulesari, Wonokerto, Turi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Suasana sejuk dan nyaman menjadi bonus utama saat berkunjung ke sana.

Ketua Desa Wisata Pulesari, Sarjana, mengatakan desanya ditetapkan sebagai desa wisata pada 9 November 2012 sebagai usaha pelapis warga setempat. Hanya dalam setahun, pamornya sebagai desa wisata meningkat drastis.

"Erupsi 2010 itu kita mulai bangkit bagaimana kita mencari double gardan usaha. Dulu mengandalkan pertanian, ada karyawan dan buruh, kita cari peluang usaha yang untuk pemberdayaan alam di sini. (desa wisata) diamini masyarakat dan berjalan," ujar Sarjana, Minggu, 16 April 2017.

Kini, puluhan ribu wisatawan berkunjung ke desa wisata. Daya tarik utamanya adalah river tracking yang terdiri dari sembilan rintangan kecil yang menantang untuk dilewati wisatawan. Bentuk rintangan itu ada yang berupa jembatan goyang, titian bambu, tangkap ikan, bumbung bocor hingga air terjun.

"Proses ke desa wisata itu 2012 sebelumnya berangkat dari seni tradisi. Ada upacara adat, kesenian," kata Sarjana.

Kedatangan wisatawan, sambung dia, perlahan mampu meningkatkan kesejahteraan warga. Bahkan, pendapatan desanya mampu disandingkan dengan omzet desa wisata lainnya yang sudah mapan.

Kunci keberhasilan dari desa wisata itu, ujar Sarjana, terletak pada cara warga menerima tamu yang datang ke desa. "Sebenarnya, kita hanya menguwongke wong (memanusiakan manusia). Itu mendasar. Siapa pun orang yang ke sini, siapa pun mereka, apapun kapasitasnya, kita rangkul bersama, kita jadikan mitra," ujarnya.

Selain potensi alam dan keramahan warga, kata Sarjana, daya tarik lain Desa Pulesari adalah kemampuan melestarikan tradisi. Salah satunya adalah tari salak dan tari kubro siswo yang menjadi ciri khas desa Pulesari.

"Tari salak itu rintisan salak karena di sini wilayah lereng Merapi, penghasil salak. Dari sini minta tolong buatkan kesenian berbasis alam dan dibuatlah semua properti dari salak. Daunnya, buahnya, kita buat sebagai properti tarian," ujarnya.

Sementara itu, tari kubro itu bercerita tentang perkembangan Islam di tanah Jawa. "Lewat peperangan, dakwah dalam syair, itu ada nuansa dakwah. Tariannya mengabarkan peperangan," ujar dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pager Bumi dan Tuah untuk Pencuri

Tradisi lain yang dipertahankan adalah dengan menggelar kegiatan pager bumi. Tradisi sedekah bumi itu rutin dilakukan untuk memohon kenyamanan dan keamanan desa terus lestari.

"Sedekah bumi pager bumi sejak berdiri kampung ini ratusan tahun sudah ada, tapi ini budaya ini turun temurun tapi memang tidak sama seperti dulu. Tapi, setidaknya ada kesamaan seperti pager bumi keliling kampung. Pager itu bukan pager bata, tapi doa," ujarnya.

Warga meyakini tradisi pager bumi mampu menjaga warga dan wisatawan dari bala. Jika ada aturan yang dilanggar, pelakunya bisa langsung menuai tuah. Salah satu aturan yang tidak boleh dilanggar itu adalah tidak mencuri barang orang lain. Jika hal itu dilanggar, pelakunya bisa meninggal atau tertangkap.

"Ada yang mencuri di kampung ini, kalau nggak umurnya nggak panjang, pasti tertangkap, apapun yang dicuri itu. Sudah tiga contohnya. Ada yang curi burung, itu mobilnya terbalik di bawah kampung. Keneknya ngasih tahu warga sini ngga tau mobilnya turunnya cepet banget seperti melayang, seperti dibalik terus jatuh," ujar Sarjana.

Kisah aneh lainnya itu juga terjadi saat ada tamu yang memiliki kemampuan melihat dunia lain. Tamu itu melihat pintu gerbang kampung ini seolah memiliki pelindung kaca yang melindungi kampung.   

Berdasarkan cerita kiai dari Magelang, kampung itu ada mulanya setelah leluhur kampung mengalahkan batu gilang atau batu jin yang berada di dekat makam Nyai Pulesawi. Dengan pelindung itu, kampung tersebut belum pernah kemasukan penjajah.

"Ini diceritain kesambung-sambung, seperti salah satu orangtua yang belum lama meninggal mengatakan kalau penjajah mau masuk ke desa ini, kampung ini berubah menjadi hutan, alang-alang jadi rumput, tapi di dalamnya penuh penduduk," ujar Sarjana.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.