Sukses

Mekotekan, Tradisi 'Peperangan yang Mempersatukan Anak Muda Bali

Pada zaman dahulu, tradisi mekotekan di Bali digelar menggunakan tombak sebagai alat 'perang-perangan'.

Liputan6.com, Denpasar - Umat Hindu Bali baru saja merayakan Hari Raya Kuningan yang jatuh sepuluh hari setelah Galungan. Kedua hari raya itu masih berkaitan dengan perayaan Nyepi, yang merupakan perayaan kemenangan kebaikan (dharma) atas kejahatan (a-dharma).

Jika setelah Nyepi kita mengenal beberapa tradisi seperti omed-omedan, mebuwuk-buwukan dan lainnya, pada hari raya Kuningan ada pula tradisi yang tak kalah serunya.‎
‎
‎Salah satu tradisi yang langgeng hingga saat ini adalah mekotek. Mekotek atau yang dikenal juga dengan istilah ngerebek digelar secara rutin oleh warga di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.

Bendesa Adat Munggu Made Rai Sujana‎ menjelaskan, tradisi mekotek baru-baru ini ditetapkan sebagai warisan budaya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mekotek, kata Sujana, merupakan tradisi turun-temurun yang dimulai ketika Kerajaan Mengwi berlokasi di Desa Adat Munggu.

Sujana menjelaskan, setidaknya ada tiga makna dari tradisi mekotekan. Pertama, yakni merupakan penghormatan terhadap jasa para pahlawan.

"Karena tradisi ini merupakan perayaan kemenangan perang Kerajaan ‎Mengwi dalam memperluas wilayah kerjaannya pada zaman itu, sehingga tradisi ini terus dilestarikan tiap Kuningan yang jatuh tiap enam bulan sekali," kata Sujana saat ditemui di Pura Puseh, Munggu, Badung, Bali, Sabtu, 15 April 2017.

Pada zaman dahulu, tradisi mekotekan di Bali digelar menggunakan tombak sebagai alat 'perang-perangan'. (Liputan6.com/Dewi Dianta)

‎Kedua, kata dia, tradisi itu juga bermakna sebagai penolak bala. Selain itu, tradisi ini juga diyakini memberi keselamatan dan kesuburan terhadap pertanian.

Pada zaman penjajahan Belanda, kata dia, tradisi mekotek sempat dilarang karena penduduk desa dianggap akan memberontak. Pasalnya, sarana yang digunakan dahulu berupa tombak, bukan kayu seperti sekarang ini.

"Pada saat itu, banyak warga terkena penyakit bahkan meninggal. Lima kali tradisi ini sempat terhenti. Tradisi ini digelar setiap enam bulan sekali. Tradisi ini bisa menolak hama yang masuk ke pertanian dan roh-roh jahat yang masuk di masyarakat," tutur dia.

Sementara, makna ketiga tradisi itu adalah mempersatukan anak muda di desa tersebut. Sedikitnya ada 12 banjar adat di bawah naungan Desa Adat Munggu mengikuti tradisi turun temurun ini.

Tradisi ini dimulai dengan menggelar persembahyangan massal di pura desa. Setelah itu, anak-anak, remaja dan orang tua berkumpul menjadi satu. Mereka berkelompok menjadi beberapa bagian.

Masing-masing orang memegang kayu panjang. Kayu itu kemudian dihimpun menjadi satu di satu kelompok hingga berbentuk piramida. Kelompok lain pun melakukan hal sama.

Selanjutnya, satu orang akan naik ke atas kayu tersebut yang akan memimpin 'peperangan'. Begitu komando disampaikan, kelompok itu saling berhadapan hingga himpunan kayu itu pun beradu.

Salah satu dari kelompok itu tentu ada yang kalah. Tetapi, bukan kalah dan menang yang dituju, melainkan melestarikan tradisi mekotekan yang sudah ada sejak dahulu kala.‎

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini