Sukses

Jamu, Jamu, Siapa Mau Kunjungan Pagi ke Desa Jamu?

Desa wisata jamu gendong di Bantul, Yogyakarta, itu ternyata berawal dari kisah pembatik yang banting setir.

Liputan6.com, Bantul - Perkembangan zaman justru semakin memantapkan warga Desa Kiringan Canden, Jetis, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadikan jamu sebagai alat menghasilkan uang. Desa itu bahkan menjadi desa wisata jamu gendong yang patut dikunjungi, bahkan sejak pagi hari.

Markus Sutrisno, pemandu wisata desa wisata jamu gendong, mengatakan usaha jamu di desa itu dimulai sejak masa perang kemerdekaan. Saat itu, salah seorang warga bernama Joparto ditawari seseorang pekerjaan baru menggantikan profesinya semula sebagai pembatik.

"Mbah Joparto buruh batik di kota. Kata abdi dalem keraton, kalau (jual) batik (dapat penghasilan) berapa. Kalau jenengan jual jamu, berapa? Lalu diajarin. Mencoba belajar dan laku, dan (ternyata) hasilnya lebih banyak dari batik," ujar Sutrisno, Minggu, 9 April 2017.

Melihat kesuksesan Mbah Joparto, warga desa lainnya tertarik. Setidaknya saat itu ada dua orang yang ikut membuat jamu.

Usaha jamu rumahan semakin berkembang hingga kini tercatat ada 132 perajin jamu. Sebanyak 30-an di antaranya merupakan generasi muda. Rata-rata para perajin jamu menjadikan minuman berkhasiat itu sebagai penopang ekonomi keluarga.

"Paling sedikit dapatnya Rp 80 ribu. Terbanyak Rp 350 ribu sehari. Dengan seperti itu, kalau ekonomi meningkat, maka lainnya meningkat. Ada yang anaknya jadi sarjana. Di sini ada dua anak dari farmasi," ucap Sutrisno.

Dari ratusan perajin jamu yang ada di desanya, hanya tiga orang yang masih berjualan dengan menggendong jamu. Lainnya menjual jamu dengan bersepeda keliling kampung. Beberapa bahkan menjual jamu dengan sepeda motor.

"Banyak usulan kenapa jamu gendong (enggak) ganti (jadi) jamu motor. Nanti dikira motor yang minum jamu," kata Markus sambil terkekeh.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tak Ada Rebutan Pelanggan

Walaupun banyak penjual jamu, mereka tidak pernah rebutan pelanggan. Setiap penjual jamu sudah mengerti teritorial masing-masing, sehingga tidak pernah ricuh gara-gara rebutan pelanggan.

"Jadi kalau misal ke Pundong, saya nunggu yang lain lewat. Semacam ada etika. Yang sudah jual jangan disasak," ujar Sutrisno.

Dia menjelaskan sejak 2015 lalu, desanya mendapatkan bantuan dari salah satu perusahaan perbankan untuk menjadi desa wisata dengan jamu sebagai andalannya. "Berawal dari CSR. Terus sekarang dikembangkan dengan taman jamu dan kegiatan outbond bersama karang taruna," ujarnya.

Taman jamu itu memiliki 90 jenis tanaman jamu yang ditanam di areal desa. Puluhan jenis tanaman itu dibedakan menjadi empat kelompok tanaman. Kelompok pertama tanaman liar untuk jamu, tanaman hias untuk jamu, toga dan buah dan sayuran untuk jamu.

"Jadi, ada beberapa jenis tanaman yang ada di taman jamu. Sayur buah ada untuk obat, lalu tanaman khusus sehat lelaki juga ada macem-macem," ujar Sutrisno.

Dengan konsistensi merawat tanaman jamun, Sutrisno mengatakan desanya menjadi salah satu kandidat perwakilan desa toga dari Kabupaten Bantul di tingkat DIY. Untuk itu, ia pun membuat cara agar desanya layak menjadi desa toga yang terpilih.

"Caranya, satu rumah punya sepuluh tanaman obat. Satu rumah satu nama tanaman, tapi punya sepuluh tanaman," ujar Sutrisno.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.