Sukses

Sederet Pemicu Longsor Ponorogo Versi UGM

Tim Mitigasi Bencana UGM membeberkan beberapa pemicu longsor di Ponorogo, Jawa Timur.

Liputan6.com, Yogyakarta - Tim Mitigasi Bencana Universitas Gadjah Mada (UGM) memaparkan sejumlah pemicu longsor Ponorogo, Jawa Timur. Mereka mengungkapkan hal itu setelah memantau dan meneliti di lapangan beberapa saat setelah longsor menerjang Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Sabtu pagi, 1 April 2017.

Anggota Tim Mitigasi Bencana UGM, Bagus Bestari Kamarullah menuturkan kemiringan lereng di lokasi longsor Ponorogo memiliki struktur geologi berupa patahan punggungan bukit dan sungai. Alhasil, kekuatan daya tahan lereng mengikat partikel lemah.

Selain itu, soil (batuan menjadi tanah) hasil pelapukan batuan vulkanik kuarter, seperti lava andesit dan breksi vulkanik, sangat tebal. Dengan demikian, berisiko tinggi bergerak ke bawah lereng. Belum lagi aktivitas manusia yang mengolah tanaman semusim seperti jahe, singkong, jagung, dan palawija.

"Saat kejadian longsor, masyarakat sedang panen jahe, ini menjadi PR (pekerjaan rumah) bersama untuk memperbaiki tata guna lahan," ucap Bagus, Selasa, 11 April 2017, di Gedung Pusat UGM, Bulaksumur, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sementara, anggota tim mitigasi bencana dari Fakultas Kehutanan UGM Hatma Suryatmojo mengungkapkan terasering bagus untuk mencegah erosi. Namun, menjadi bencana ketika ada di lokasi yang memiliki kerentanan tinggi.

Lokasi longsor Ponorogo merupakan kawasan yang dikelola Perhutani, sehingga memiliki fungsi sebagai hutan yang seharusnya didominasi tanaman keras. "Masalahnya, kawasan ini juga dimanfaatkan untuk pertanian intensif yang berakibat memicu longsor karena merusak agregat tanah," tutur Hatma.

Menurut Hatma, rusaknya agregat tanah mengakibatkan inflitrasi atau masuknya air ke dalam tanah saat curah hujan menjadi tinggi. Hal itu menyebabkan tanah jenuh dengan air.

Ia menawarkan solusi berupa upaya konservasi daerah aliran sungai (DAS) mengendalikan kelola lahan, rehabilitasi lahan vegetatif perakaran dalam serabut, dan tanaman ringan yang memiliki kemampuan konsumsi air di tanah cukup banyak.

Termasuk, rekayasa teknis pembuatan saluran drainase menuju bawah lereng. Artinya, terasiring diberi tambahan saluran pembuangan air ke bawah.

Tim Mitigasi Bencana Longsor UGM menggelar hasil penelitian di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

"Vegetasi yang cocok seperti sengon, aren, pinus, dalam jumlah yang tidak terlalu banyak supaya fungsi konservasi air di dalam tanah juga tidak hilang," Hatma menambahkan.

Adapun anggota Tim Mitigasi Bencana UGM dari Fakultas Geografi Danang Sri Hadmoko menambahkan, tipologi longsor di Pulau Jawa ada tiga, yakni longsor sliding, rotasi, dan flow. Longsor Ponorogo kompleks karena jenisnya sliding dan rotasi sekaligus. Kejadian longsor juga dalam kecepatan tinggi dan durasi pendek.

"Seringkali prosesnya terjadi pada malam hari karena tidak ada sinar matahari, sehingga tanahnya jenuh, dan pada pagi harinya longsor terjadi," anggota Tim Mitigasi UGM itu memungkasi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.