Sukses

Keriaan Sekolah Gembira Anak-Anak Korban Longsor Ponorogo

Sekolah Gembira anak-anak korban longsor Ponorogo untuk mengatasi anak-anak yang enggan masuk sekolah seperti biasa.

Liputan6.com, Ponorogo - Usai bencana longsor menimpa Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo pada Sabtu, 1 April 2017, banyak warga setempat yang mengalami trauma. Di antara mereka terdapat anak-anak.

Hal itu mendorong para relawan untuk membuka sekolah gembira bagi anak-anak korban longsor berusia 4 sampai 12 tahun.

"Selama ini setiap terjadi bencana yang paling rawan dengan trauma adalah anak-anak. Kita melihat peluang ini dan membuat posko di rumah milik bapak Kepala Desa," tutur Zuli Dwi Prasetyo, relawan Sekolah Gembira, kepada Liputan6.com pada Kamis, 6 April 2017.

Pemulihan trauma dalam Sekolah Gembira itu dilakoni Zuli bersama 20 orang temannya dari Santana alias Santri Tanggap Bencana dari Pondok Pesantren SPMAA Lamongan. Sekolah itu berjalan sejak pukul 08.00 hingga pukul 16.00 WIB dengan waktu istirahat sekitar tiga jam dari pukul 11.00-15.00 WIB.

Menurut Zuli, sekolah gembira dibuka karena anak-anak enggan masuk sekolah seperti biasa. Ada sekitar 15-20an anak yang mengikuti kegiatan pemulihan trauma yang berisi kegiatan belajar dan bermain di sekolah gembira itu.

"Tema yang kami ambil berbeda-beda setiap harinya, misalnya hari ini tentang lingkungan hidup. Kita mengajak anak-anak mencari sampah dan dibersihkan kemudian menggunting gambar pada bungkus sampah dan ditempel untuk dipresentasikan," kata Zuli.

Zuli mengatakan tidak membatasi relawan pengisi kegiatan di Sekolah Gembira. Banyak relawan dari mahasiswa, Polri, dan ibu-ibu dari suatu komunitas bekerja sama untuk mendampingi anak-anak.

Namun, para relawan tidak boleh memaksakan anak-anak untuk mengikuti sekolah ini karena banyak warga yang terdampak longsor itu mengungsi ke rumah saudaranya dan tidak tinggal di pengungsian.

"Selain belajar, anak–anak juga kami beri AMT, yakni Asupan Makanan Tambahan berupa susu dan buah," ucap Zuli.

Hal ini dilakukan, lanjut Zuli, sebagai bentuk pengurangan rasa trauma dengan cara memberikan pengalaman yang seru serta menyenangkan ditambah dengan makanan yang disukai anak–anak.

Dengan respons yang apik, sekolah yang awalnya hanya akan dibuka selama tujuh hari, Pemkab Ponorogo meminta relawan melanjutkan program itu hingga anak–anak tidak mengalami trauma lagi.

"Kami senang dengan adanya permintaan seperti ini malahan, jika memang dibutuhkan kami siap dan sanggup," kata Zuli.

Menarik Perhatian Mahasiswa

Bertugas menjadi relawan di kawasan bencana tanah longsor di Dukuh Tangkil, Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Ponorogo menjadi salah satu pengalaman yang berharga bagi Ayu Wulandari. Ia bertugas memberikan pelajaran sembari bermain di Sekolah Gembira sebagai terapi pemulihan trauma bagi anak–anak korban longsor.

Ayu berasal dari Madiun dan sekarang tercatat sebagai mahasiswi di PGRI Madiun, Fakultas Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dan juga anggota organisasi kepemudaan Indonesia, Youth Dream. Ia ingin berbagi ilmu yang didapat di bangku kuliah untuk membantu mengajar di pengungsian.

"Kalau Santri Tanggap Bencana (Santana.red) mengajar soal agama, kalau Ayu lebih ke pendidikannya," tutur Ayu kepada Liputan6.com di lokasi.

Setiap hari, ia bersama delapan relawan pendidik lainnya mengajar tema yang berbeda–beda. Tak lupa, saat pelajaran selalu diselingi dengan permainan yang menyenangkan. Hal itu guna mengusir kejenuhan anak–anak.

"Hari ini kami mengajar dengan tema lingkungan hidup, anak – anak kami ajak mencari sampah bekas bungkus makanan yang ada gambar buah atau tanaman kemudian dipotong dan ditempel, terus dipresentasikan di depan kelas," kata dia.

Pengalaman unik pun sempat dialaminya. "Saat pelajaran sedang berlangsung, ada anak yang naik ke badan relawan. Itu pengalaman lucu dan menarik buat saya," ucap Ayu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini