Sukses

Lika-Liku Perjalanan Warga Brebes Korban Perdagangan Orang

Liputan6.com, Brebes - Sebanyak delapan warga Brebes, Jawa Tengah diduga menjadi korban human trafficking atau perdagangan orang di Malaysia. Mereka merupakan warga Desa Cenang, Kecamatan Songgom, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.

Salah satu orangtua korban, Tokadi (50) mengatakan, pertama kali anaknya berangkat dari Brebes ke Malaysia pada 28 November 2016 silam. Saat itu, anaknya diajak oleh tetangganya bernama Tarmudi.

"Memang sebelum berangkat ke sana (Malaysia) tujuannya mau bekerja, jadi saya tidak curiga sama sekali," ucap Tokadi, Jumat (24/3/2017).

Ia menambahkan, anaknya yang bernama Ahmad Ghozali (18) berangkat ke Malaysia bersama tujuh temannya. Mereka adalah Hendra Setiawan (23), Hermansyah (27), Apris Prasmono (20), Torikun (30), Jono (30), Amar (28), dan Sahroni (25). Mereka berangkat ke Malaysia pada akhir November 2016 tahun lalu.

Karena tidak memiliki rasa curiga apapun, apalagi soal dugaan perdagangan orang, para orangtua pun rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Informasi dari pihak keluarga, satu orang diminta memberikan uang Rp 5 juta kepada Tarmudi.

Biaya pemberangkatan yang diberikan kepada Tarmudi itu dibayar dua kali. Pertama, saat mendaftar sebesar Rp 3,5 juta, dan pembayaran selanjutnya Rp 1,5 juta.

"Karena diminta untuk keperluan proses pemberangkatan ke Malaysia, ya kami bayar saja waktu itu berapa yang diminta," ucap dia menambahkan.

Lambat laun, kata dia, Tokadi pun mulai curiga setelah anaknya memberi kabar kalau proses pemberangkatan yang tidak beres dan janggal. Kejanggalan itu, misalnya pemberangtakan dari Brebes ke Jakarta menggunakan bus. Lalu dari Jakarta menggunakan pesawat namun mendarat di Batam yang dilanjutkan menggunakan jalur laut menuju Malaysia.

"Sewaktu dikasih tahu jalur rute pemberangkatanya, kok muter-muter. Jadi kami curiga biasanya kan kalau berangkat dari Jakarta naik pesawat langsung ke Malaysia. Tapi ini kok ke Batam terus naiknya perahu," jelasnya.

Selain itu, tanda-tanda mencurigakan lainnya saat bekerja. Mereka bekerja dengan kesan sembunyi-sembunyi. Misalnya, saat berangkat dari asrama menuju tempat kerja selalu dikawal ketat oleh beberapa orang.

"Pas kerja saja katanya nnggak bebas, ada pengawalan begitu. Apalagi saat pulang juga ada yang mengawasi," katanya.

Menurut dia, sebelum keberangkatan ke Malasyia memang anaknya izin untuk merantau ke negeri seberang sebagai TKI dan diminta untuk bekerja di sebuah pabrik mesin di Johor Malaysia. Namun kenyataannya, Ghozali bekerja di sana secara ilegal dan diduga jadi korban perdagangan orang.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Bantah Ilegal

Sementara itu, Tarmudi, orang yang merekrut para tenaga kerja ke Malaysia itu mengaku tidak mengetahui jika model perekrutannya selama ini tidak resmi alias ilegal. Dia mengaku bekerja untuk PT Al-Kurni, sebuah perusahaan jasa pengiriman TKI di Malaysia yang resmi dan selama ini menjadi langganannya dalam urusan TKI ke Negeri Jiran tersebut.
 
"Saya bekerja untuk Ali Murtado, orang dari Al-Kurni (agen pemberangkatan)," ucap Tarmudi.

Dia mengaku sudah terlibat di bidang perekrutan TKI di Malayasia sejak 2001 silam. Meski sudah 16 tahun menggeluti aktivitas itu, dia tidak memiliki dokumen-dokumen pengiriman TKI ke Malaysia.

Bahkan, sejumlah uang yang diserahkan dari orang yang diberangkatkan ke Malaysia juga tanpa ada bukti pertanggungjawabannya. Semisal kuitansi dengan materai.

"Kuitansi tidak ada, kan saya hanya lakukan apa yang semestinya," jelasnya.

Meski begitu, ia mengakui, para calon TKI itu dikirim menggunakan jalur laut lewat Batam. Visa yang digunakan para calon TKI itu juga visa kunjungan, bukan visa kerja.

“Jadi begini, (visa kunjungan itu) untuk sementara sambil nunggu visa kerja di sana,” ucap Tarmudi berkilah.

Dia membeberkan, jika Ahmad Ghozali cs yang dikirim ke Malaysia itu bekerja di pabrik pembuatan keset. Gajinya berkisar 900 ringgit per bulan. Namun, ada potongan 2.500 ringgit selama 10 bulan. Tapi Tarmudi pun tidak menjelaskan untuk apa potongan gaji tersebut.

"Memang dari sananya ada potongan, ya sudah mau bagaimana lagi memang dari sananya sudah kaya begitu aturan mainnya," ungkapnya.

Setiap kali mengirimkan orang ke Malaysia, dia mengaku mendapat fee dari agen pengirim. Tapi dia enggan menyebut berapa besaran uang yang didapatkan dari tiap kali mengirim calon TKI ke sana.

"Ya paling buat uang bensin saja pendapatan fee saya. Tapi kalau untuk khusus TKW (tenaga kerja wanita) memang per orangnya saya dapat Rp 2 juta," ungkapnya.

3 dari 3 halaman

Lapor Polisi

Karena dianggap telah merugikan pihak keluarga dengan tipu muslihat agen pemberangkatan TKI, pada Senin, 20 Maret 2017 lalu, keluarga korban melaporkan Tarmudi ke pihak Kepolisian Resor Brebes.

"Kami sudah laporkan dia (Tarmudi) ke Polisi supaya tidak ada lagi tenaga kerja yang nasibnya seperti anak saya ini," kata Tokadi.

Mereka berharap, kepada pihak kepolisian agar menanggapi dan merespon laporan dari keluarga para korban. Pasalnya, ditengarai masih banyak korban yang nasibnya sama dengan anaknya yang diberangkatkan ke Malaysia untuk menjadi TKI ilegal.

Apalagi, diketahui harapan Ghozali dan ketujuh rekannya untuk sukses di Malaysia dan pulang ke Brebes membawa uang akhirnya kandas. Mereka ditangkap pihak imigrasi Malaysia pada pertengahan Januari 2017 lalu. Mereka ditangkap karena dianggap sebagai warga negara tidak resmi.

Merespon permasalahan ini dan laporan keluarga korban, Anggota Satuan Gugus Tugas Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Kabupaten Brebes, Rini Pujiastuti mengatakan, kasus yang dialami delapan TKI ilegal asal Brebes tersebut sudah mengidikasikan adanya unsur perdagangan orang.

"Karena memang keberangkatan mereka tidak disertai dokumen yang lengkap," ucap Rini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini