Sukses

Cara Tangkal Buasnya Predator Seksual Anak yang Berburu di Medsos

Dalam wilayah siber yang relatif susah dipantau dan tanpa batas wilayah, para pelaku predator seksual anak bisa dari mana saja.

Liputan6.com, Semarang Kasus pedofilia yang memanfaatkan media sosial sebagai arena berburu korban dan membagikannya kepada pengguna sangat mencemaskan para orang tua. Polisi setidaknya sudah menangkap lima tersangka yang diduga menjadi admin grup Facebook predator seksual anak tersebut.

Para tersangka itu diancam pasal prostitusi anak, dijerat Pasal 27 ayat 1 juncto Pasal 45 ayat 1 UU RI Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE dan atau Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 29 dan atau Pasal 4 ayat 2 juncto Pasal 30 UU RI Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Para penjahat ini "menjajakan" 99 anak usia 2-10 tahun lewat grup Facebook "Official Loly Candys Group 18" dengan tarif 1,2 juta rupiah.

Para predator seksual anak ini tidak mengenal satu sama lain, dipertemukan di Facebook dan punya kelainan yang sama. Ditengarai mereka bertemu di forum pedofil, baik di medsos maupun di forum-forum online lainnya.

Pakar keamanan cyber Pratama Persadha dalam sebuah diskusi ringan menyebutkan bahwa untuk penyebarannya mereka menggunakan Facebook Group yang tertutup, sehingga setiap akun Facebook yang mendaftar masuk ke grup tersebut akan dilakukan screening lebih dulu.

"Mereka bisa tertangkap karena aparat menyamar menjadi pembeli dan berupaya memesan untuk menangkap pelaku. Prostitusi anak umumnya memakai Facebook Group tertutup. Di sana mereka berbagi dan juga bertransaksi satu sama lain. Dari bukti yang ada, bahkan mereka merencanakan menculik beberapa anak yang mereka sukai," kata Pratama, Sabtu (18/3/2017).

Menurut Pratama, kini banyak juga dipakai beberapa aplikasi pepesanan instant seperti WeChat dan Bee Messenger yang bisa memberitahu "calon pembeli" bahwa ada "anak penghibur" yang siap dalam area beberapa kilometer. Lalu para predator seksual anak itu bisa saling kontak dan menawarkan real time alias saat itu juga.

"Aplikasi chat dengan model base location ini mulai banyak dipakai, dan nampaknya juga digunakan oleh para predator anak. Tidak hanya bertransaksi, mereka juga mengincar pemakai aplikasi yang masih dibawah umur," kata chairman lembaga keamanan siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) ini.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Melawan dengan Medsos Lokal

Para predator seksual anak ini biasa mencari mangsanya lewat media sosial dan aplikasi chat. Karena itu orang tua sudah sepantasnya membatasi akses anak ke perangkat gadget. Bila terpaksa memakai, anak harus dipahamkan bahayanya.

"Untuk mencegah hal ini terus berulang memang tidak bisa hanya dengan pendekatan hukum. Upaya pemerintah juga harus dilengkapi dengan edukasi dan sosialisasi keamanan bermedia sosial berinternet. Tidak hanya pada anak sebagai korban, tapi jauh lebih penting pada para orangtua," kata Pratama.

Pratama sendiri melihat ini menjadi kerja besar pemerintah. Dalam wilayah siber yang relatif susah dipantau dan borderless alias tanpa batas wilayah, para pelaku bisa dari mana saja, bahkan luar negeri. Karena itu pemerintah harus melakukan pendekatan kultural di masyarakat untuk bisa lebih luas menjangkau dan meningkatkan kesadaran keamanan cyber di seluruh lapisan.

Untuk mengatasi hal itu, Pratama mengusulkan agar pemerintah mendorong developer lokal guna membangun media sosial maupun aplikasi chat lokal. Karena dengan pemakaian medsos dan aplikasi chat lokal oleh masyarakat, pemerintah lebih bisa bertindak tegas bila terjadi pelanggaran maupun kejahatan hukum di tanah air.

"Selama ini pemerintah kesulitan bertindak karena layanan internet baik media sosial maupun aplikasi chat hampir semuanya dari luar. Kalau mau bangun server dan taat bayar pajak sebenarnya tidak masalah, tapi yang terjadi sebaliknya. Sehingga saat pemerintah mau bertindak tegas, mereka berani melawan karena kita tak ada layanan serupa sebagai pengganti bila diblokir," tutur Pratama.

Urusan konten memang jadi masalah tersendiri, seperti Bigo Live yang dianggap mempromosikan pornoaksi. Akhirnya pemerintah bisa bertindak tegas. Namun untuk layanan seperti Facebook dan WhatsApp yang banyak mengambil data dari masyarakat, cenderung pemerintah sulit bertindak.

"Sebenarnya kita ingin ada aplikasi lokal ini juga agar sesuai norma dan budaya tanah air. Karena itu, baiknya memang orang tua harus melek teknologi, minimal mengerti bagaimana mengaktifkan parental control di gadget anak, sehingga mereka tidak terkoneksi dengan orang luar yang berbahaya," kata Pratama.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.