Sukses

Orang Marena Berjuang atas Pengakuan Ruang Hidup di Hutan Adat

Secara turun-temurun, masyarakat Marena mengelola hutan adat dengan kearifan lokal.

Liputan6.com, Sigi - "Sudah putih bulat telur ayam, sudah putih bulat niat kami. Sudah putih kain, lebih putih hati kami menerima," demikian petikan sambutan dari Gaspar Lancia (55) selaku Ketua Lembaga Adat Marena, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng), dalam bahasa setempat yang diterjemahkan Sekretaris Lembaga Adat Marena, Ferdy Lumba (54).

Tetua adat itu didampingi pula oleh Kepala Desa Marena, Nixen Antarixa Lumba. Menjelang tengah malam pada Minggu, 26 Februari lalu, mereka menyambut kedatangan rombongan wartawan termasuk Liputan6.com dan penggiat lembaga swadaya masyarakat Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HuMa) serta LSM Bantaya. Dua LSM yang selama ini mendampingi masyarakat adat Marena.

Beberapa selang sebelumnya, tepatnya pada Minggu malam pekan terakhir bulan lalu, rombongan berangkat dari Kota Palu, Sulteng, dengan menggunakan mobil menuju Desa Marena. Setelah menempuh perjalanan darat sekitar 89 kilometer atau tiga jam, rombongan tiba di desa tempat berdiam 92 kepala keluarga atau hampir 400 warga tersebut.

Dalam pertemuan yang digelar di Kantor Kepala Desa Marena, kepala adat setempat secara garis besar memaparkan perjuangan mereka terhadap pengakuan atas hutan adat.

"Marena termasuk desa unik. Kami berjuang untuk memperoleh ruang hidup dalam hutan adat. Membangun strategi, beda dengan desa lain yang sering ada konflik agraria," ujar Ferdy.

Perjuangan warga Marena di antaranya menggelar dialog dan kesepakatan dengan pihak Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), tepatnya 29 Agustus 2007. Selanjutnya, mereka berjuang ke tingkat pemerintah kabupaten setempat.

Tak sia-sia, masyarakat Marena secara kelembagaan adat mendapat pengakuan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sigi yang tertuang dengan keputusan bupati setempat pada 2016 dan 2017.

"Kami butuh pengakuan atas hutan adat kami yang telah berlangsung turun-temurun," tutur Ferdy.

Bantaya atau balai pertemuan bagi masyarakat adat di Desa Marena, Kecamatan Kulawi, Sigi, Sulteng. (Liputan6.com/Anri Syaiful)

Harapan tetua adat Marena memang beralasan. Apalagi pada akhir tahun lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan fungsi konservasi harus tetap dipertahankan oleh masyarakat yang mengelola hutan adat.

Menurut Jokowi, hutan adat tersebut juga tidak boleh diperjualbelikan oleh masyarakat. Presiden menjelaskan pula, pemerintah memberikan pengelolaan hutan adat kepada masyarakat secara langsung, bukan kepada korporasi.

Seluas 13.122,3 hektare hutan adat diberikan pemerintah kepada sembilan kelompok masyarakat adat melalui Surat Keputusan hutan adat. Pemerintah, ujar Kepala Negara, masih mengkaji lahan hutan seluas 12,7 juta hektare untuk hutan tanaman rakyat termasuk hutan adat.

Adapun menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, sembilan kawasan yang telah memenuhi peraturan perundangan hutan adat, yaitu Hutan Adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba seluas 313,99 ha, Hutan Adat Marga Serampas di Kabupaten Merangin seluas 130 ha, Hutan Adat Wana Posangke di Kabupaten Morowali Utara seluas 6.212 ha, dan Hutan Adat Kasepuhan Karang di Kabupaten Lebak seluas 486 ha.

Selanjutnya, Hutan Adat Bukit Sembahyang dan Padun Gelanggang di Kabupaten Kerinci seluas 39,04 ha, Hutan Adat Bukit Tinggai di Kabupaten Kerinci seluas 41,27 ha, Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam di Kabupaten Kerinci seluas 276 ha juga termasuk ke dalam hutan adat 2016.

Pemerintah juga menetapkan Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan di Kabupaten Kerinci seluas 452 ha dan Hutan Adat Tombak Haminjon di Kabupaten Humbang Hasudutan seluas 5.172 ha.

"Kami menanti tim verifikasi penetapan hutan adat. Semoga praktik pelestarian hutan yang kami lakukan diakui negara," ujar Ketua Lembaga Adat Marena, Gaspar Lancia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Masyarakat Adat Marena

Masyarakat Hukum Adat To Marena merupakan salah satu masyarakat hukum adat yang berada di Ngata Marena, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Nama "Marena" sendiri berasal dari "Porenaa" atau tempat penyebaran kerbau (Bengka) untuk mencari makanan dari beberapa pemilik kerbau ketika kerbau dibawa dari Kulawi ke Gimpu pulang-pergi.

Berdasarkan data LSM HuMa, sejak tahun 1930, Marena telah menjadi tempat penggembalaan atau lamara dan perladangan (bone) Orang Kulawi. Sebelum resmi menjadi desa pada tahun 2013, Marena pernah menjadi dusun jauh Desa Bolapapu dan dusun 1B Desa O'o Parese.

Masyarakat Hukum Adat To Marena adalah tipikal Masyarakat Hukum Adat yang terbentuk karena kesamaan geneologis dan kesamaan tempat tinggal. Secara geneologis, To Marena merupakan keturunan dari Kulawi "Moma".

Selain itu, Ngata Marena juga dihuni oleh orang Rampi dan Seko, Toraja, Bugis (Sulawesi Selatan), Pekurehua, Bada (Kabupaten Poso), Da'a (Kabupaten Donggala), Manado (Sulawesi Utara), Jawa dan etnis Kulawi yang berbahasa Uma seperti Peana, Kantewu, Kalamanta, Winatu dan Siwongi, yang telah tinggal di Ngata Marena sejak tahun 1970 sampai sekarang.

Prosesi pernikahan adat di Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulteng. (Liputan6.com/Anri Syaiful)

Dari aspek topografi, Marena didominasi oleh gunung-gunung atau bukit-bukit sekitar 90 persen dengan tingkat kemiringan 60-80 derajat. Sedangkan 10 persen lainnya adalah dataran yang diperuntukkan untuk permukiman dan persawahan. Luas wilayah adat To Marena sekitar 1.970 hektare.

Luas wilayah adat terbagi-bagi, yaitu 200 hektare masuk dalam kawasan Hutan Lindung, 1.732 ha masuk dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu, 440 ha masuk dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas, dan 125 ha dikuasai Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah.

Dengan demikian wilayah adat to Marena yang beralih atau diklaim menjadi milik negara sekitar 1.497 ha. Sisanya sekitar 473 ha dikelola oleh orang Marena.

Terkait pengelolaan hutan adat Marena, Kepala Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), Sudayatna, angkat bicara. Menurut dia, pengelolaan berbasis masyarakat adat itu tidak masalah, asalkan semua persyaratan terpenuhi dan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hanya saja, Sudayatna mengingatkan, satwa-satwa yang dilindungi tidak punah. Selain itu, sistem keanekaragaman hayati tetap terjaga. "Tapi, kalau dieksploitasi tidak sesuai daya dukung jangan sampai terjadi."

Kendati demikian, dia merespons positif terhadap pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat. "Mungkin, masyarakat lebih arif dalam mengelola hutan, hal ini berbeda dengan (perilaku) masyarakat pendatang," tutur Kepala Balai Besar TNLL tersebut.

3 dari 4 halaman

Sistem Pengelolaan Hutan Adat

Secara umum konsepsi hukum adat To (orang) Marena berlandaskan pada dua nilai filosofis, yaitu Hintuvu danKatuvua. Hintuvu adalah nilai kehidupan yang melandasi pengaturan hubungan interaksi antara manusia. Menurut To (orang) Marena, bila hubungan interaksi manusia dapat saling menghargai atau Pomebilia, menjunjung solidaritas dan saling membantu atau Mohingkau dan Momepanimpu, serta musyawarah atau Molivu, dapat menciptakan kehidupan yang damai di dalam masyarakat.

Katuvua sendiri adalah nilai kehidupan yang melandasi pengaturan hubungan interaksi manusia dengan alam. Jadi manusia harus menonjolkan sikap kearifan dan keseimbangan pemanfaatan alam Popahilolonga Katuvua. Khusus untuk kawasan hutan, ada sejumlah zonasi yang ditetapkan berdasarkan fungsi dan peruntukkannya.

Hal ini merupakan bentuk tata guna lahan kawasan hutan oleh orang Marena, yaitu:

- Wanangkiki, kawasan hutan yang terletak di puncak-puncak gunung dan didominasi oleh rerumputan, lumut serta tumbuhan perdu.

- Wana, kawasan hutan belantara/hutan primer yang belum pernah dikelola menjadi lahan pertanian. Wana merupakan lokasi sumber penyangga kandungan air, lokasi habitat hewan-hewan langka serta tumbuhan langka. Karena itu dilarang keras kawasan Wana dijadikan lahan pertanian sebab dapat menimbulkan bencana kekeringan. Kawasan ini hanya bisa dimanfaatkan untuk mengambil getah damar, rotan (lauro), obat-obatan serta bahan wewangian (wongi-wongi).

- Pangale, kawasan hutan yang sudah pernah diolah menjadi lokasi pertanian masyarakat dahulu, tapi telah ditinggalkan selama puluhan tahun sehingga menjadi hutan kembali. Di kawasan ini masyarakat hukum adat Marena biasanya memanfaatkan hasil-hasil hutan seperti rotan, getah damar, kayu ramuan rumahdan kayu bakar, pandan hutan (naho) untuk membuat tikar dan bakul, obat-obatan dan bahan wewangian.

- Pahawa Pongko, kawasan hutan bekas lokasi pertanian masyarakat dahulu, namun telah ditinggalkan selama 25 tahun ke atas.

- Wanangkiki dan Wana merupakan kawasan hutan yang tidak boleh disentuh manusia/tidak ada aktivitas pengelolaan manusia terhadap alam.

Ada beberapa aturan larangan di kawasan Pangale dan Oma. Di antaranya, menebang kayu dan membuka lahan di sekitar Taolo dan Dumpolo (daerah hulu sungai dan daerah yang dikeramatkan).

Suasana kawasan Hutan Adat Marena, Kecamatan Kuwali, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. (Liputan6.com/Anri Syaiful)

Selanjutnya, larangan mengambil/menebang kayu untuk kepentingan komersial/diperjual-belikan, baik dalam bentuk/jenis bantalan ataupun semibantalan, mengelola damar atau kayu agatis dan kayu gaharu di hutan wilayah kelola adat Marena tanpa izin dari lembaga adat Marena.

Termasuk, tidak diperbolehkan sama sekali menangkap atau mencuri binatang langka di hutan, seperti Anoa atau Lupu, babi rusa (Dolodo) Rusa atau Ruha. Burung langka di hutan, seperti Burung Maleo (Molo), Rangkong Sulawesi (Alo), Elang Sulawesi (Lowe), dan bangsa burung yang lain dengan menggunakan jerat, ranjau, senjata api, senjata angin, senjata tajam, dan bahan beracun.

Selain itu, larangan menambang emas tanpa izin dari lembaga adat, mengambil rotan dengan cara menebang kayu tempat rotan bertumbuh dan melingkar.

Selain sejumlah larangan tersebut, Lembaga Adat Marena juga mengatur mengenai sendi kehidupan sosial kemasyarakatan setempat. Ada beberapa sanksi adat bagi para pelanggarnya. Peradilan adat biasanya dihelat di Bantaya atau balai pertemuan bagi masyarakat adat di Desa Marena, Kecamatan Kulawi, Sigi, Sulteng.

"Sanksi terberat bisa berupa denda kerbau, sedangkan sanksi ringan bagi pelanggar adat berupa alat rumah tangga," ujar Yeni Lancia Buha (52) selaku Tinangata atau pengatur tata cara adat Marena, Selasa, 28 Februari 2017.

4 dari 4 halaman

Reforma Agraria

Saat ini, hutan adat menjadi bagian Program Perhutanan Sosial yang kebijakannya ada di Reforma Agraria. Sebab, masyarakat adat tidak hanya mendapat akses pengelolaan, namun juga hak milik terhadap lahan dalam bentuk sertifikat. Hal ini disampaikan tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden (KSP) Usep Setiawan.

"Dalam taksonomi Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria yang diminta oleh Presiden untuk dibuatkan, maka posisi hutan adat di gambar itu ada di antara Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria," ucap tenaga ahli Kedeputian Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Sosial, Budaya, dan Ekologi Strategi KSP itu kepada wartawan di Jakarta, Jumat, 3 Maret 2017.

Lantaran itulah, menurut dia, hutan adat ada di dua agenda. Yaitu, Perhutanan Sosial di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sekaligus ada di Reforma Agraria di Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Tujuan dari dua agenda itu, menurut dia, juga masuk dalam program prioritas nasional ini untuk memberikan kesempatan masyarakat memiliki, menguasai, menggunakan, dan memanfaatkan atas tanah dan hutan sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat termasuk juga masyarakat adat.

Usep menjelaskan bahwa dalam rangka penyusunan kebijakan ekonomi yang berkeadilan, terutama dari segi pemerataan kesejahteraan, maka Presiden Jokowi telah mengantongi 12,7 juta hektare lahan kawasan hutan yang diperuntukkan bagi masyarakat, dan di dalamnya ada Hutan Adat.

Ia mengatakan pula, jika Reforma Agraria bertujuan untuk penataan ulang kepemilikan dan penguasaan tanah dalam bentuk pemberian sertifikat pada masyarakat, maka Perhutanan sosial pemberian akses pengelolaan, bukan hak milik karena hutan tetap hutan negara. "Pengecualian untuk Hutan Adat."

Kebijakan Pemkab Sigi

Langkah pemerintah itu juga menjadi kebijakan Pemkab Sigi. Menurut Wakil Bupati Sigi, Paulina, kebijakan reforma agraria di Kabupaten Sigi sejalan dengan agenda Nawacita Presiden Jokowi yang di antaranya mengenai pemerataan dan kewilayahan.

Paulina menjelaskan, reforma agraria di Sigi adalah suatu keharusan. Sebab, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan kerap terlibat dalam konflik agraria. Terlebih, sebanyak 81,25 persen desa di Sigi berada di dalam dan di sekitar hutan.

"Konsep reforma agraria dapat menekan angka kemiskinan dan meningkatkan indeks pembangunan manusia di Sigi. Sebab, salah satu pemicu adalah karena keterbatasan masyarakat mengakses sumber daya alam," ucap Paulina di Kota Palu, Selasa, 28 Februari 2017.

Wakil Bupati Paulina (kiri) didampingi sejumlah pejabat Pemkab Sigi, Sulteng, menjelaskan kebijakan reforma agraria. (Liputan6.com/Anri Syaiful)

Berdasarkan data Pemkab Sigi, dari 226.876 penduduk di Sigi pada 2015, sebanyak 29.140 jiwa atau 12,75 persen masuk dalam kategori miskin. Adapun indeks pembangunan manusia (IPM) di Sigi 64,64 (2015).

Selain itu, menurut Paulina, Pemkab Sigi secara tegas menolak dijadikan kabupaten konservasi. Ia bahkan mengungkapkan, secara bertahap hingga tahun 2021, Pemkab Sigi bakal membagikan lahan seluas 100 ribu ha untuk masyarakatnya yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan.

Tak hanya soal reforma agraria, Paulina juga menyebut kerukunan hidup sosial kemasyarakatan penduduk Sigi juga terjaga. "Sebagian warga menganut agama Nasrani, sebagian lainnya Muslim, tapi toleransi dan kebinekaan tetap terjaga."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini