Sukses

Nelayan Pantura Masih Gantung Jaring, Sampai Kapan?

Liputan6.com, Brebes - Lebih dari 800 kapal nelayan alat tangkap cantrang di pesisir Pantai Utara (Pantura) barat wilayah Brebes hingga Tegal, Jawa Tengah, hanya teronggok di dermaga pelabuhan wilayah masing-masing. Kondisi itu sudah berlangsung selama sebulan terakhir.

Setidaknya ada dua faktor utama. Pertama, karena cuaca buruk dan gelombang tinggi. Yang kedua dan dianggap krusial, yakni karena adanya larangan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dipimpin Susi Pudjiastuti. Larangan itu tertuang dalam Surat Edaran KKP melalui Surat Edaran Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Nomor 14319/PSDKP/IX/2015 tertanggal 30 September 2015.  

SE dari KKP itu berisi larangan tentang penggunaan alat tangkap cantrang. Larangan itu mulai diberlakukan 1 Januari 2017. Namun, larangan itu mendapat penolakan dari ratusan nelayan alat tangkap cantrang. Selain cantrang, dalam peraturan tersebut juga dilarang penggunaan alat tangkap pukat tarik.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo melihat permasalahan ini. Ganjar yang memang sejak awal turun tangan menangani nelayan cantrang memberikan kelonggaran dan toleransi kembali hingga 31 Juni 2017.  

Untuk itu, enam bulan perpanjangan itu harus benar-benar dimanfaatkan oleh nelayan untuk mengganti alat tangkap yang legal. Sebenarnya sudah ada masa toleransi selama 14 bulan, mulai dari Oktober 2015-Desember 2016. Sehingga diharapkan semua nelayan di Jawa Tengah harus sudah menggunakan alat tangkap legal mulai Juli 2017 mendatang atau ketika masa toleransi perpanjangan berakhir.

Kabid Perikanan Tangkap Dinas Perikanan Pemkab Brebes, Maskorim, mengakui ratusan nelayan di wilayah pantura Kabupaten Brebes sudah sebulan terakhir ini terpaksa tidak melaut. Selain karena kondisi cuaca yang buruk, mereka tidak bisa mencari ikan akibat terkendala proses pengurusan perizinan kapal untuk melaut.

"Memang benar adanya ratusan kapal nelayan Pantura Brebes tidak melaut karena terkendala izin yang belum keluar. Padahal mereka (nelayan) sudah mengajukan izin jauh-jauh hari, tapi sampai saat ini belum turun," ucap Maskorim, Jumat, 24 Februari 2017.

Sementara terkait kebijakan perubahan alat tangkap ramah lingkungan, Maskorim menambahkan, pihaknya telah mengeluarkan rekomendasi agar nelayan tetap melaut sembari mereka mengurus perizinan dan mengganti alat tangkapnya.

"Kami juga sebenarnya sudah mengeluarkan rekomendasi agar nelayan tetap bisa melaut, meski perizinan yang diajukan masih dalam proses, dan sedang melakukan pergantian alat tangkap yang ramah lingkungan," katanya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Butuh Biaya Sangat Besar

Berdasarkan pantauan di Pelabuhan Kluwut, Kecamatan Bulakamba, Brebes, ratusan kapal milik nelayan setempat terlihat memadati alur sungai. Kapal-kapal itu disandarkan karena pemiliknya tidak melalut.  

Sebagian anak buah kapal ada yang memanfaatkan waktu tidak melaut itu untuk memperbaiki kapal. Sebagian lain ada yang melakukan persiapan pengisian perbekalan kapal, meski mereka belum tahu pasti kapan akan berangkat mencari ikan.

Dampak pelarangan dalam SE KKP itu pun terlihat pada Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kluwut. Aktivitas di sana terlihat sepi. Saking sepinya, anak-anak warga setempat sampai bisa bermain bebas. Padahal saat nelayan mencari ikan, TPI itu selalu ramai oleh aktivitas nelayan yang transaksi jual beli ikan.  

Tasori (45), salah seorang pemilik kapal asal Desa Kluwut, mengakui sudah sebulan terakhir para nelayan di desanya tidak melaut. Termasuk dirinya yang menjadi "pengangguran" dalam 30 hari terakhir. Kata dia, tidak melautnya para nelayan karena terkendala dengan proses perizinan.

"Kalau masalah gelombang besar baru terjadi seminggu ini dan bagi kami sudah bisa. Nelayan sudah pengalaman ketika cuaca buruk, pasti memilih tidak melaut. Namun yang lebih parah, tidak melautnya nelayan karena terkendala perizinan kapal. Meski kami sudah mengajukan, tapi tak kunjung selesai dan ini sudah sebulan lebih," ucap Tasori.  

Dari sebanyak 300 lebih kapal milik nelayan Kluwut, ucap dia, baru sekitar 10 persen atau 30 unit kapal yang izinnya keluar. Sedangkan sisanya masih dalam proses sehingga nelayan tidak berani melalui.  

"Ya kalau kami nekat melaut meski kondisi ombak sedang baik, kami khawatir akan terjaring razia di laut karena izin belum keluar," kata dia.  

Menurut dia, akibat ratusan kapal tidak melalui perizinan itu, banyak nelayan yang menganggur. Mereka juga tidak mendapatkan penghasilan. Namun, sebagian para nelayan itu ada yang beralih profesi menjadi buruh serabutan.  

"Sampai saat ini bantuan beras paceklik dari pemerintah juga belum turun, biasanya ketika nelayan tidak melaut ada bantuan beras ini. Kami sangat berharap bantuan beras paceklik bisa dikucurkan karena dirasakan sangat membantu nelayan disini," kata dia.  

Kondisi serupa juga dialami lebih dari 500 kapal nelayan di Tegal yang belum berangkat melaut akibat terkendala izin serupa. Mereka bahkan meminta pencabutan larangan alat tangkap ikan berupa cantrang. Atau setidaknya, mereka berharap, masa toleransi diperpanjang sampai satu atau dua tahun lagi.

"Kami minta KKP bisa memperpanjang toleransi penerapan larangan alat tangkap ikan cantrang paling tidak hingga satu tahun ke depan," ucap Ketua Paguyuban Nelayan Kota Tegal (PNKT), Susanto Agus Priyono.

Ia menyebut, alasan mereka minta diperpanjang selama itu karena faktor ekonomi. Kata dia, karena pengadaan alat tangkap baru pengganti cantrang membutuhkan biaya mahal dan waktu yang lama.

"Dari sekitar 600 kapal nelayan di Kota Tegal, baru sekitar 3 persen yang sudah melakukan penggantian alat tangkapnya," katanya.  

Sebagian besar belum melakukan penggatian karena ketiadaan biaya atau modal untuk membeli alat tangkap selain cantrang.

Dia juga menjelaskan, untuk mengganti alat tangkap cantrang dengan alat tangkap jenis gillnet yang ramah lingkungan, biaya yang dibutuhkan mencapai Rp 1,5 miliar.

Biaya lebih mahal lagi harus dikeluarkan para nelayan apabila mengganti cantrang dengan alat tangkap jenis purseseine, yakni mencapai Rp 2 miliar hingga Rp 3 miliar dengan waktu pembuatan paling tidak sekitar satu tahun. Alat itu juga harus dipesan jaringnya terlebih dahulu.

”Kami tetap berharap kebijakan larangan penggunaan cantrang dicabut pemerintah. Apabila memang tidak bisa dicabut untuk pemberlakuannya harus diundur 1-2 tahun lagi, sehingga memberi kesempatan nelayan mengumpulkan biaya untuk mengganti alat tangkapnya,” ungkapnya.  

Sementara itu, untuk mempermudah pergantian alat tangkap cantrang, rencananya pemerintah akan memberikan kredit lunak perbankan pada nelayan.

Mereka yang masih punya utang juga akan diberikan kemudahan. Bahkan Gubernur Jateng mengusulkan, cicilan pembayaran utang tak harus per bulan, tapi per hasil tangkap. Dengan demikian lebih fleksibel dan mempermudah pembayaran.

Terlebih, kata dia, saat ini banyak nelayan dan pemilik kapal yang masih terjerat utang di bank. PNKT mencatat, dari 90 orang nelayan, jumlah utangnya mencapai Rp 69 miliar. Jumlah itu belum mencangkup separuh dari semua nelayan dan pemilik kapal yang terjerat hutang.

"Banyak hutang pemilik kapal yang belum terdata," kata Susanto.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini