Sukses

Sekolah Adat Koha, Protes Cerdas Pemudi Minahasa

Pemudi Minahasa yang satu ini memang berbeda. Lewat Sekolah Adat Koha, ia mendalami tradisi leluhur.

Liputan6.com, Minahasa - Kala para pemuda kebanyakan larut dengan budaya populer, Nedine Helena Sulu (31) malah asyik menggali tradisi leluhur. Mahasiswi S1 Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Manado (Unima) itu bahkan mendirikan Sekolah Adat Koha sejak April 2016.

Puluhan anak muda berusia antara 18-30 tahun berkumpul di salah satu area perkebunan Desa Koha, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

Mereka berkumpul untuk belajar sambil duduk melingkar mengelilingi sebuah batu besar dan menikmati singkong, pisang dan jagung rebus, dabu-dabu roa dan buah langsat.

"Ini salah satu kegiatan belajar di Sekolah Adat Koha. Ini juga bentuk inisiatif untuk menelusuri jejak leluhur, mempelajarinya, sekaligus mewarisi kearifan lokal leluhur Minahasa," tutur Nedine, Kamis, 16 Februari 2017.

Dia berpendapat, di era kecanggihan teknologi, pemuda setempat justru semakin tercabut dari akar budaya lokal. Padahal, budaya memberi identitas pada mereka.

"Leluhur kita melalui tradisinya sebenarnya mengajarkan kita bagaimana mengelola lingkungan, hutan, untuk kelangsungan hidup," ujar Nedine.

Nedine mengungkapkan, di sekolah itu para pemuda mempelajari asal-usul suku Minahasa, pengetahuan obat–obatan tradisional, pangan lokal, cara bertani, lagu, tarian seperti kabasaran atau cakalele dan bahasa daerah.

"Karena kita tahu, dalam pendidikan formal di sekolah para pelajar tidak mendapatkan pengetahuan mereka tentang hal-hal ini semua. Sekolah adat ini juga sebagai bentuk protes terhadap pendidikan formal yang kurang memperhatikan nilai-nilai dan kearifan lokal," ujar Nedine yang juga merupakan Ketua Pemuda Gereja di kampungnya ini.

Silabus dan metode pembelajaran dalam Sekolah Adat Koha Ini juga tergolong unik. "Saya lebih banyak memberikan pengantar, lalu peserta menemukan langsung di lapangan. Setelah itu kita diskusikan dengan para tetua adat, atau ahli sejarah dan budaya," kata Nedine.

Semangat musyawarah yang kental juga terbawa saat penentuan waktu dan tempat belajar para anggota. Pasalnya, mereka punya kesibukan masing-masing.

"Puluhan anak muda ini rata-rata sudah bekerja, atau sementara kuliah. Sehingga memang kita atur bersama jadwal sekolah," ujar dia.

Sekolah Adat Koha memang menyasar anak muda sebagai target utama. Pertimbangannya, mereka dinilai paling rawan digilas modernisasi. "Kalau anak-anak, pendidikan informal di rumah masih cukup kuat," kata perempuan yang juga aktif di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi utara ini.  

Salah satu kegiatan belajar yang dilakukan Sekolah Adat Koha adalah menggelar kegiatan permainan tradisional dan ziarah kultura, akhir Januari lalu di hutan sekitar Desa Koha.  

Kegiatan diawali dengan ziarah kultura ke beberapa situs sejarah seperti waruga (kuburan kuno) para pendiri kampung, batu 'pasela' atau batu pendirian kampung, dan situs sejarah jejak kaki Siow Kurur (jejak kaki raksasa di batu).

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan diskusi mengenai permainan tradisional sembari mempraktikkannya langsung. Permainan diharapkan bisa kembali membangkitkan kepedulian masyarakat Minahasa atas budayanya sendiri.

"Tambah lagi kurangnya akses buku, guna melihat tulisan dokumentasi budaya Minahasa. Dengan ziarah kultura, kita akan belajar dan mengetahuinya banyak karena berkunjung pada situs budayanya langsung, untuk mendapatkan ingatan terkait tempat-tempat itu," tutur Nedine.

Tak hanya itu, mereka juga mendokumentasikan situs budaya serta permainan tradisional daam bentuk catatan-catatan. "Ini penting agar nilai adat tidak dilupakan," ujar Nedine.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sempat Disebut Aliran Sesat

Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sulawesi Utara, Eirene Christi Mamahit menyampaikan, pentingnya permainan tradisional mengajarkan seorang anak makna sebuah kebersamaan, interaksi dan bersosialisasi.

"Seperti permainan benteng dulu itu memiliki makna. Ini mengartikan seseorang harus mampu mempertahankan wilayahnya dan kawan-kawannya jangan sampai direbut. Untuk menyerang harus juga memberdayakan kemampuan teman-teman yang ada," ujar Eirene.

Sementara, terkait ziarah kultura yang telah dilaksanakan, dipandang sebagai wadah mempelajari nilai-nilai kebaikan yang diwariskan para leluhur Minahasa. Salah satunya tentang pentingnya pohon dan hutan.

"Hutan adalah denyut nadi kehidupan, pohon harus dilestarikan, mata air harus dijaga," papar dia.

Menjalankan aktivitas belajar di lapangan yang banyak bersentuhan dengan pohon, hutan, batu serta benda-benda purbakala, termasuk ritualnya, menjadi tantangan tersendiri. Tantangan itu terutama datang dari pemuka agama yang menilai aktivitas anak-anak muda ini sebagai sesuatu yang sesat.

"Kami sempat dibilang menyembah berhala. Sempat juga ada larangan bagi anak muda untuk mengikuti sekolah adat itu," tutur Nedine.

Memanfaatkan kapasitasnya sebagai Ketua Pemuda Gereja di Desa Koha yang setiap pekan bisa berdiri di mimbar gereja, Nedine mengambil momen itu untuk menjelaskan kepada jemaat bagaimana pentingnya mengetahui dan lestarikan budaya leluhur yang masih kontekstual dengan perkembangan jaman.

"Leluhur kita memang belum mengenal Tuhan, tapi mereka mengenal Opo Empung. Sosok yang punya kuasa, yang mengajarkan perdamaian bagi manusia. Ini substansinya, meski cara leluhur dulu bukan pergi ke gereja untuk bersembahyang," ujar Nedine.

Hampir setahun sekolah adat ini berjalan, Nedine mulai berjejaring dengan sekolah adat di daerah lain termasuk di luar negeri yakni Filipina. "Kami ada 10 komunitas di Indonesia. Di Sulawesi Utara hanya ada satu di Desa Koha ini," ujar dia.

Sementara dalam hubungannya dengan pemerintah, dia mengaku saat ini pemerintah desa dan kecamatan yang awalnya belum tahu kini mulai memberikan dukungan.

"Sedangkan dalam skala nasional, beberapa kali saya juga menghadiri workshop di Kemdikbud untuk membahas keberadaan sekolah adat ini," tutur Nedine.

Apapun yang nanti bakal jadi kebijakan Kemdikbud, Nedine tak ambil pusing. Dia akan tetap jalan dengan Sekolah Adat Koha.

"Apalagi, memang spirit pendirian sekolah ini juga sebagai bentuk protes terhadap pendidikan formal yang banyak abai terhadap nilai budaya dan kearifan lokal," ucap Nedine.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.