Sukses

Dilema Jalur Maut Jenazah 'Berenang' ke Kuburan

Pengantar jenazah 'berenang' yang jadi korban kini menjadi yang diantar 'berenang' menuju pemakaman

Liputan6.com, Semarang - Tak ada pilihan selain membuat jenazah berenang menuju kuburan. Karena lokasi kuburan di seberang sungai, cara itu harus diambil warga Desa Kalirejo, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.

Setiap kali ada warga yang meninggal, para pengantar jenazahnya harus menempuh jalur maut sebelum sampai di tempat pemakaman. Mereka mau tak mau menyeberangi Sungai Lusi.

Dengan lebar sekitar 100 meter dan kedalaman 10 meter, Sungai Lusi menjadi jalur maut yang berpotensi memakan korban bagi mereka yang mengantar jenazah ke tempat peristirahatan terakhir. Jumeno adalah contoh terakhir jalur menuju pemakaman itu memakan korban.

Beberapa hari lalu seorang warga Desa Kalirejo bernama Jinem meninggal dunia. Seperti tradisi yang sudah turun-menurun, jenazahnya harus dimakamkan di seberang Sungai Lusi, satu-satunya pemakaman paling dekat dari desa itu.

Usai dimandikan dan disalatkan, jenazah Jinem hendak dikuburkan. Sejumlah warga kemudian menjadi pengantar jenazah Jinem. Termasuk Jumeno yang aslinya merupakan warga Dusun Ndoro, Desa Tanjungsari, Kecamatan Kradenan, Grobogan.

"La ilaha ilallah…la ilaha ilallah," gema tahlil menandai pemberangkatan jenazah Jinem. Para pengantar pun berjalan beriringan, memanggul jenazah Jinem di dalam keranda menuju Sungai Lusi.

Langkah mereka terhenti dan suara tahlil pun menghilang tatkala kaki-kaki mereka tiba di tepian sungai. Sekitar 150-200 meter dari makam ini, jenazah dan pengantarnya dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus menyeberang sungai.

Di tepi sungai ini, kesibukan berubah. Para pengantar jenazah berenang meletakkan keranda jenazah Jinem di atas rakit yang terbuat dari pipa paralon. Para pengantar ini juga mulai fokus pada penyeberangan jenazah di jalur ini.

Selain Jumeno, di antara pengantar itu ada Jupri, Masruri, dan Marjuki. Keempatnya mendapat tugas mengawal jenazah Jinem menyeberang sungai.

Hingga sekitar 50 meter mereka berenang menyeberangi Sungai Lusi, semua masih lancar. Namun setibanya di tengah sungai, mereka baru menyadari ada yang tidak beres. Arus sungai semakin deras. Rupanya Sungai Lusi mulai banjir.

Semua benar-benar berubah ketika pengantar dan jenazah sudah sampai di tengah sungai yang mulai banjir itu. Tiba-tiba Jumeno yang bertugas mendorong jenazah dan menjaga agar jenazah tak hanyut kehabisan tenaga karena melawan arus banjir.

"Itu Jumeno tarik tangannya. Awas kenter (hanyut)," teriak salah satu di antara mereka.

Masruri yang berada paling dekat hendak segera menarik tangan Jumeno. Ia juga harus membagi konsentrasi antara menjaga keranda jenazah Jinem dan menyelamatkan Jumeno.

Taoi terlambat. Tangan Jumeno sudah tak lagi memegang rakit yang membawa keranda. Ia benar-benar terbawa derasnya arus banjir Sungai Lusi.

"Saya sudah mau meraih tangannya, tapi tidak kena dan akhirnya (Jumeno) hilang (terbawa arus)," kata Masruri, pengiring jenazah yang selamat.

Konsentrasi pelayat terbagi dan terpecah. Sebagian melanjutkan prosesi pemakaman Jinem usai berenang menuju makam, sebagian lainnya mencari Jumeno, si pengantar jenazah berenang yang terseret arus. Ada pula yang kemudian melapor ke polisi dan meneruskan ke Tim SAR.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Giliran Jumeno yang Diantar 'Berenang'

Sejak Jumeno dinyatakan terbawa arus dan hilang ditelan banjir, Tim Basarnas Pos SAR Jepara bersama polisi dan TNI langsung menggelar operasi pencarian dan penyelamatan. Pencarian dan penyelamatan ini lebih terpola, yakni dengan pembagian tim.

Menurut Affandi, salah satu petugas dari Basarnas Kantor SAR Semarang yang menerima laporan dari Pos SAR Jepara, operasi itu melibatkan dua regu. Regu pertama menggunakan perahu karet dan menyusuri sepanjang Sungai Lusi.

"Tim kedua berada di darat. Mereka menyusuri tepian sungai untuk mencari tanda-tanda keberadaan Jumeno. Sejak operasi digelar kami mengalami masalah, yakni kondisi air sungai masih sangat deras dan keruh," kata Affandi, Jumat (10/2/2017).

Sementara, Koordinator Basarnas Pos SAR Jepara Wisnu Yoga menyebutkan pencarian juga melibatkan masyarakat setempat. Pihaknya mengakui masyarakat setempat lebih mengenal medan dan karakter Sungai Lusi.

"Alhamdulillah, korban ditemukan hari ini berjarak delapan kilometer dari lokasi dia tertelan arus. Jadi korban terseret ke arah timur, sesuai arah arus yang hingga kami evakuasi juga masih deras," kata Wisnu Yoga.

Ketika ditemukan, Jumeno sudah dalam keadaan meninggal dunia. Usai dievakuasi, jenazah langsung diserahkan kepada keluarganya di RT 02/ RW 05 Dusun Pojok, Desa Kalirejo, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan.

Jenazah Jumeno akan dimakamkan di makam tempat jenazah Jinem dimakamkan. Artinya, Jumeno bakal menjadi jenazah berenang berikutnya menuju pemakaman.

"Untuk Jumeno, pasti almarhum akan dimakamkan di tempat kemarin, jadi harus dikawal penyeberangannya," kata Masruri.

Menurut Masruri, tanda-tanda Jumeno tidak akan tuntas menjalankan tugas mengantar jenazah Jinem sudah terlihat saat terengah-engah melawan arus banjir bandang Sungai Lusi. Padahal, di Sungai Lusi itu mereka baru setengah perjalanan.

"Benar, perjalanan masih setengah baru sekitar 50 meter, Jumeno sudah terengah-engah kepayahan. Akhirnya pegangannya pada rakit yang mengusung keranda terlepas," kata Masruri kepada Liputan6.com.

Jumeno sempat hendak diselamatkan Masruri. Namun arus yang deras dan konsentrasi Masruri dalam menjaga jenazah Jinem di keranda agar tak hanyut menyebabkan upaya penyelamatan Jumeno gagal.

Kendati tinggal di tepi sungai terpanjang di Jawa Tengah bukan berarti membuat warga jago berenang. Jika menyeberang, pelayat dan jenazah sama-sama menggunakan alat bantu.

Dulu warga menggunakan gedebog pisang atau bambu buat berenang. Sementara tandu jenazah juga diberi alas gedebog pisang atau bambu biar mengapung dan mudah didorong.

"Jadi jika ada yang meninggal pelayatnya sepuluh ya kami potong 14 pohon pisang lebih untuk menyeberangkan jenazah," ungkap Basori.

Karena banyaknya pohon pisang yang dipotong, maka muncul ide agar alat bantu berenang itu diganti dengan pipa peralon. Selain ringan, pipa paralon juga bisa digunakan berkali-kali sebagai rakit keranda jenazah.

"Lima tahun lalu kami buat pipa peralon khusus untuk menghantar jenazah. Jadi jika gedebog pisang atau bambu sekali pakai, peralon bisa kita pakai berkali-kali," tutur Basori.

Selama sekitar 35 tahun membantu warga meninggal, Basori mengaku selalu mendapat tugas khusus. Yakni menerima jenazah di seberang sungai. Di seberang sungai, dia juga harus mencari tempat yang datar dan lebih rendah dari tepi sungai awal penyeberangan.

"Kenapa saya ambil lebih bawah karena saat menyeberang sungai pasti jenazah juga akan sedikit geser. Paling jauh geser sampai 100 meter lebih bawah dari titik awal renang," ucap dia.

Insiden terseretnya Jumeno merupakan kabar yang sangat mengejutkan. Sebab, Jumeno yang merupakan "tamu" dari desa sebelah itu yang paling muda saat bertugas bersama tiga orang lainnya menjadi penjaga rakit keranda jenazah ketika menyeberangi sungai. Jumeno masih berusia 28 tahun.

"Yang lain, Jupri berusia 50 tahun, Masruri umur 30 tahun, Mbah Marjuki usia 50 tahun. Semua (tamu), asli Tanjungsari," ujar dia.

3 dari 3 halaman

Adakah Solusi Lain?

Menyeberang Sungai Lusi tiap kali mengantar jenazah ke pemakaman memang menjadi satu-satunya jalan yang ditempuh warga Desa Kalirejo. Bukan tak ada alternatif lain, tapi itu juga bukan merupakan solusi tepat.

Pasalnya, jika akan memutar melewati jembatan sungai, jarak lebih dari lima kilometer harus dilewati. Ditambah halangan jembatan rel kereta api yang sempit membuat para pelayat tidak bisa melintas sembari memanggul jenazah.

"Jadi ya harus berenang. Jika tidak berenang, memutar jauh, ada jembatan pun tidak bisa dilewati. Yang renang orang pilihan yang memang ditugasi mengantar jenazah dan sama seperti orang melayat di tempat lain. Renang pun kami sempat selawat," ujar pria yang saat peristiwa Jumeno hanyut terjadi mendapat tugas menunggu di seberang sungai.

Selain persoalan rute, warga Desa Kalirejo terpaksa berenang ke tempat pemakaman karena warga tak punya tanah untuk pemakaman sendiri.

Sementara itu, Kepala Humas Basarnas Kantor SAR Semarang Zulhawary Agustianto mengatakan, sebaiknya warga setempat berkoordinasi dengan petugas SAR atau polisi atau BPBD ketika hendak menyeberang sungai mengawal jenazah berenang. Dengan peralatan yang lebih memadai, jumlah korban tentu bisa diminimalisasi.

"Kendala tim SAR adalah jumlah personel yang sedikit. Tapi jika dengan bantuan BPBD setempat tentu akan lebih mumpuni," kata Zulhawary kepada Liputan6.com.

Tentang tawaran Basarnas, warga tak serta-merta mengiyakan. Jupri, salah satu warga, menyebutkan pelibatan aparat pemerintah akan menambah beban keluarga. Setidaknya mereka akan mengeluarkan ongkos untuk mendapatkan supervisi dan pengawalan yang memadai.

"Masak mengundang petugas enggak membayar? Meskipun mereka enggak minta, tapi kebiasaan para petugas itu kan seringkali berharap diopeni (Jawa, artinya diurusi) kebutuhannya. Misalnya menggunakan perahu karet, kami yang harus membeli BBM mesin perahu tempelnya," kata Jupri, salah satu warga tepi Sungai Lusi.

Namun, Zulhawary menegaskan, pelayanan Basarnas tersebut akan diberikan secara cuma-cuma. Tak ada beban biaya apa pun kepada masyrakat.

"Saya tidak tahu jika ada petugas di luar Basarnas yang seperti itu. Yang jelas di Basarnas tidak ada yang seperti itu. Kebahagiaan kami, para petugas SAR, adalah saat berhasil membantu masyarakat," kata Zulhawary.

Di sisi lain, permasalahan terseretnya pelayat ini langsung mendapat respons dari Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Orang nomor satu di Jawa Tengah itu langsung menghubungi Bupati Grobogan, Sri Sumarni, untuk menanyakan kebenaran informasi pengantar jenazah berenang itu terseret arus sungai.

Ganjar juga tengah memikirkan jalan keluar agar para warga tidak harus berenang untuk mengantar jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.

"Tadi sudah telepon dan kita sudah turunkan tim ke lokasi untuk melihat lokasi dan untuk mencari solusi atas kasus warga harus berenang 100 meter untuk melayat," ujar politikus PDIP itu.




* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini