Sukses

Uniknya Bangunan Bata dari Sampah Plastik

Ternyata, bisa juga membuat bangunan kokoh dari sampah plastik. Penasaran?

Liputan6.com, Yogyakarta - Seniman dari Kanada Russell Maier dan Antropolog Ani Himawati, serta sejumlah komunitas di Yogyakarta berkolaborasi memamerkan Ecobrick. Ecobrick ini merupakan sebuah teknik sederhana yang bisa dimanfaatkan menjadi modul untuk berbagai kepentingan di rumah tangga, seperti furniture meja kursi, dinding, sekat, dan sebagainya.

Pameran yang digelar di Sangkring Art Space pada 4-14 Januari 2017 ini menjadi bagian dari kampanye nol sampah atau meminimalkan penggunaan sampah plastik. Selain itu juga mendukung usaha Yogyakarta sebagai kota pertama di Indonesia yang mencanangkan gerakan ecobricks pada Juni 2016.

Ecobricks menjadi upaya mengurangi sampah plastik rumah tangga. Sesuai namanya, brick yang berarti bata dimaknai sebagai mengumpulkan sampah plastik di dalam botol kemudian disatukan dengan modul tertentu dan bisa diperlakukan seperti batu bata untuk membuat beragam benda.

"Kami memamerkan ecobrick ini dalam bentuk modul artinya ada beberapa metode penyusunan botol dan syarat yang harus dipenuhi supaya presisi dan bisa dibongkar pasang mirip lego," ujar Ani, dalam pembukaan pameran, Jumat, 6 Januari 2017.

Ia menguraikan botol plastik ecobrick yang digunakan untuk modul furniture harus satu merek dan satu ukuran. Ia menggunakan botol berukuran 600 mililiter dan diisi sampah plastik seberat 200 gram sehingga tampak padat.

Contoh bata dari sampah plastik. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Modul yang diterapkan pun beragam, mulai dari segi enam yang menerapkan tujuh botol, segi tiga dengan tiga botol, dan sebagainya, sesuai dengan kebutuhan.

Kegiatan ini sudah dilakukan oleh warga Yogyakarta dan menurut data Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta sudah ada 6.000 ecobrick yang dikumpulkan. Namun, Ani meyakini tidak semua ecobrick dikumpulkan karena sebagian rumah tangga pun memanfaatkannya secara pribadi.

Berdasarkan pengamatan, setiap rumah tangga di Yogyakarta bisa mengumpulkan 7 ecobrick dari botol ukuran 600 mililiter per bulan dari sampah plastik yang dikonsumsi. Meskipun demikian, tutur Ani, tujuan akhir bukanlah menghasilkan ecobrick sebanyak-banyaknya melainkan meminimalkan penggunaan sampah plastik.

Pengunjung melihat pameran yang menampilkan kegiatan pembuatan bata dari sampah plastik. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Dalam kesehariannya, Ani mengaku hanya menghasilkan satu ecobrick per bulan bahkan kurang. Pasalnya, ia sedapat mungkin menghindari penggunaan benda berbahan plastik yang menghasilkan sampah.

Ani memilih untuk memilah sampah di rumahnya, menjadi tiga bagian, sampah organik yang dalam kurun waktu dua hari bisa menjadi kompos dan dipakai untuk tanaman di pot, sampah kertas yang bisa dibakar karena tidak menghasilkan zat berbahaya, serta sampah plastik yang dikumpulkan menjadi ecobrick.

Seniman dari Kanada Russell Maier dan Antropolog Ani Himawati tengah menjelaskan pembuatan dan manfaat bata dari sampah plastik. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Russel mengungkapkan ecobrick diterapkan pertama di Suku Igorot Filipina dengan pertimbangan plastik tidak pantas berada di sungai, hutan, dan ladang.

Menurutnya, kolaborasi dalam pameran ini bukan hanya tentang satu atau dua orang, melainkan cara bekerja dan solusi atas persoalan bumi dan kemanusiaan.

"Kita bisa bekerja bersama-sama untuk cara hidup yang baru dan bekerja dengan cara yang baru dan menjadi gambaran orang-orang bagaimana memperlakukan plastik," tandas Russel.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.