Sukses

Orang-orang yang Jalan Kaki Ratusan Kilo Mencari Ganjar Pranowo

Rombongan peserta long march berkukuh menunggu Ganjar Pranowo sampai bisa ketemu.

Liputan6.com, Semarang - Ratusan warga berjalan kaki dari Rembang menuju Kota Semarang, Jawa Tengah. Long march mulai Senin, 5 Desember 2016 ini bertujuan menemui Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Mereka ingin mengingatkan Ganjar agar menaati putusan hukum terkait pembangunan pabrik semen.

Mereka tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang. Sesampai di Kota Pati, mereka mendapat dukungan dari warga Peduli Pegunungan Kendeng Kabupaten Pati, sehingga jumlahnya membengkak hingga lebih dari 300 orang.

Pada Kamis 8 Desember 2016, Ganjar Pranowo mengakui tidak dapat menemui langsung para warga tersebut. Dia akan bertolak pada ke Riau untuk menerima penghargaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Meski mengaku tak bisa menemui, selaku gubernur ia akan mendelegasikan para birokratnya untuk menemui warga.

Menanggapi rencana Ganjar tersebut, Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK), Gunretno, menyatakan pihaknya akan menunggu sampai ditemui. "Kita akan menunggu sampai ketemu. Kita ingin menyampaikan putusan MA yang memenangkan gugatan warga soal izin penambangan Semen," kata Gunretno.

Sikap tersebut mengesankan bahwa mereka ngotot atau ngeyel. Namun bagi yang sudah memahami aspek budaya masyarakat tersebut, sikap ngotot mereka tidak terkesan negatif.

Sebagian dari mereka adalah orang-orang Samin, komunitas atau suku di seputar Pati dan sekitarnya. Ada kearifan lokal dan logika tersendiri di balik sikap tersebut.

Sebelum aksi jalan kaki ini, pada April 2016 lalu orang-orang Samin penentang pabrik semen pernah mengggelar aksi yang menarik perhatian di Jakarta. Saat itu, sejumlah ibu-ibu dari mereka menyemen kakinya di depan Istana Negara.

Kaum Samin dikenal sangat memegang nilai kejujuran, hingga sering dinilai naif. Anggota kaum Samin tersebar di Jawa Tengah, persisnya sekitar Blora, Pati, Rembang, Purwodadi, dan sekitarnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Orang-Orang Samin

Sikap ngeyel alias penuh argumen unik para penganut Samin ini sudah berlaku turun-temurun. Diwariskan dari nenek moyang mereka yang menolak membayar pajak dan upeti ke pemerintah Belanda. Penolakan mereka bukan dengan kekerasan, melainkan dengan sikap ngeyel tadi.

Penulis Takashi Shiraishi dari Jepang, menuliskan sikap ngeyel dengan argumen sarkastis dalam bukunya Dangir’s Testimony, Saminis Reconsidered. Di buku itu, warga Samin menolak membayar pajak dengan argumen bahwa warga Samin merasa tidak pernah menyewa tanah atau apa pun ke pemerintah.

Tanah yang mereka diami adalah warisan leluhur. Tahu-tahu, ada orang asing datang memaksa mereka membayar. Jelas mereka menolak.

Sikap perlawanan itulah yang kemudian menyebabkan Gubernur Jenderal Van Heutz harus memberi stigma gila terhadap kaum Samin. Hal itu bisa dibaca dalam novel sejarah yang ditulis Pramoedya Ananta Toer.

"Ada di antara tuan-tuan yang pernah dengar tentang pembangkangan golongan petani yang menamai kaum Samin?"

Tidak ada yang menjawab.

"Mereka telah membangkang berbareng dengan Perang Aceh paling awal. Mereka membangkang sudah seperempat abad!"

Stigma dari Gubernur Jenderal Van Heutsz, penguasa tertinggi di Hindia Belanda dalam kisah Pramoedya Ananta Toer (Jejak Langkah, 2001: 254) – itu, barangkali yang kali pertama terlontar bagi gerakan Samin. Pembangkang!

Budayawan Gunawan Budi Susanto atau akrab disapa Kang Putu menjelaskan bahwa anggapan pembangkangan itu karena secuplik ungkapan orang Samin tentang kesamarasa-samarataan. "Lemah padha duwe, banyu padha duwe, kayu padha duwe."

"Ya, tanah, air, dan kayu milik orang banyak. Hutan warisan nenek moyang, dan anak cucu berhak memanfaatkan. Itu yang mereka terapkan dalam laku, tindakan," kata Kang Putu kepada Liputan6.com beberapa waktu lalu. 

Ketika laku itu diperbuat banyak orang dan disebarluaskan, jadilah gerakan. Gerakan itu pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan wujud perjuangan antikolonial. Tujuannya mengusir penjajah Belanda dari tanah Jawa.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini