Sukses

Candu Pornografi Mulai Jangkiti Anak-Anak di Pulau Seribu

Liputan6.com, Tidore - Panas menyengat saat Liputan6.com menyambangi Desa Maitara, Kecamatan Tidore Utara, Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Desa di pulau itu juga dikenal sebagai Pulau Seribu karena ditampilkan di uang pecahan kertas Rp 1.000.  

Pulau yang terletak di antara Pulau Tidore dan Ternate itu dikenal pula sebagai tempat nelayan sukses. Setiap kepala keluarga memiliki satu hingga dua perahu dan speedboat.

"Pulau Maitara ini sepi pas musim ikan. Kalau laki-laki melaut mencari ikan dan perempuan berjualan ikan hasil tangkapan," kata Safril (31), warga Desa Maitara kepada Liputan6.com, awal Oktober 2016.

Dengan kesuksesan yang mereka miliki, memiliki gawai bukanlah hal aneh bagi nelayan setempat. Bahkan, anaknya yang masih duduk di bangku kelas 6 SD itu sehari-hari bermain gim daring di ponsel selepas pulang sekolah.

Safril mengatakan, fenomena itu bukan hanya terjadi pada anaknya. Sebagian besar siswa atau pelajar di Pulau Maitara sudah mengenal internet.

"Melalui HP (ponsel), mereka mahir mengakses internet. Bahkan, anak-anak di sini lebih paham daripada orangtua mereka," kata dia.

Safril memberikan kebebasan kepada anaknya yang akan beranjak kelas 1 SMP itu. Soal bagaimana dampak negatifnya, Safril belum mengetahui.

Hal serupa dikatakan Santi, warga Desa Maitara Selatan yang sehari-hari berjualan ikan di pasar perikanan nasional, Kelurahan Bastiong, Ternate Selatan, Kota Ternate.

Ibu satu anak itu mengatakan, putranya yang masih di bangku kelas 6 SD dibelikan telepon pintar dengan tujuan sebagai hiburan anaknya. "Saya sendiri kan jarang di rumah. Sehari-hari berada di pasar," kata dia.

Salah seorang siswa SMP Negeri 17 Kota Tidore Kepulauan mengungkapkan ponsel pintar yang digunakan para pelajar tak terlepas dari arahan pihak sekolah. Para guru menganjurkan siswa untuk mencari jawaban atas pekerjaan rumah di internet.

"Karena tugas sekolah (mengharuskan) kami mencari bahan-bahan pelajaran di internet. Informasi yang didapat, banyak," kata Masri.

Belakangan, niat hanya untuk mencari bahan pelajaran dari internet berkembang menjadi asyik bermain media sosial. Ia sendiri memiliki dua akun media sosial yang digunakan untuk berteman di dunia maya.

Saat itulah, beberapa konten iklan dewasa yang menjurus ke konten pornografi sering muncul di layar ponsel pintar miliknya. "Ada gambar-gambar (iklan dewasa). Itu gambarnya pakai baju setengah," kata dia.

"Karena penasaran saya buka. Saya lihat, gambar dan video seks," sambung dia.

Masri mengatakan rasa penasarannya mulai membuatnya kecanduan atas konten pornografi. Saat mengakses internet, yang utama dilihat iklan dewasa setengah bugil.

Ia menjelaskan dalam sebulan, ia menghabiskan Rp 150 ribu untuk membeli paket data. Ia bebas mengakses apapun lewat internet karena kedua orangtuanya sibuk bekerja sebagai nelayan dan pedagang.

Padahal, Masri tergolong siswa berprestasi di sekolah. Ia juga aktif menjadi pengurus OSIS di sekolahnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Minim Pengawasan

Lemahnya pegawasan terhadap pelajar di Pulau Maitara diakui Misbah Hasan, guru Pendidikan Agama Islam SMP Negeri 17 Pulau Maitara, Tidore Utara.

Misbah membenarkan sekolah membebaskan anak-anak didik mereka mengakses internet melalui ponsel pintar karena sekolah belum menyediakan. Meski begitu, ia mengaku sekolah memahami dampak buruk internet tersebut bagi kalangan pelajar setempat.

"Kami akui karena situs-situs negatif itu muncul sendiri. Itu yang bikin susah. Apalagi anak-anak sudah pernah melihatnya, pasti penasaran. Belum lagi ditambah dengan lemahnya pengetahuan orang tua soal bahaya internet. Kurangnya pegawasan atau kontrol orang tua dan guru dari anak-anak ini yang bahaya," kata dia.

Misbah mengatakan pihak sekolah hanya melarang para siswa-siswi mengakses internet selama berada di ruang kelas atau dalam belajar mengajar.

"Kalau di luar ruangan kita tidak tahu. Kalau pun kedapatan ada yang mengakses internet di sekolah itu, kita ingatkan. Kalau sudah di luar sekolah, kita tidak tahu, dan biasanya di luar kontrol itu ketika mereka cari bahan tugas di rumah," kata dia.

Misbah menyadari kesibukan para orang tua pelajar setempat. Sekitar 85 persen waktu orangtua lebih banyak dihabiskan di laut dan pasar.

"Bahkan, yang bapak-bapak itu kalau sudah melaut, dua hingga tiga bulan baru mereka balik ke rumah," kata Misbah.

3 dari 3 halaman

Budaya Malu Mulai Hilang

Misbah menyadari maraknya penggunaan internet di pulau setempat telah memicu gaya hidup baru dan pola pergaulan di kalangan pelajar setempat.

"Dulu itu kalau tidak sembahyang, orang malu keluar rumah. Sekarang so tarada (tidak lagi). Bahkan, kalau bajalang (berjalan) sama-sama deng parampuang (bukan muhrim) itu kena marah, sekarang tidak lagi," kata dia.

Menurut dia, 65 persen pelajar SMP dan SMA setempat menggunakan telepon pintar yang bisa mengakses internet. Kurangnya pengawasan orangtua akan berdampak buruk terhadap perilaku menyimpang di kalangan pelajar itu.

"Insya Allah, saya akan sosialisasi soal dampak buruk internet ini kepada orang tua murid. Saya sampaikan nanti saat pembagian rapor," kata dia.

Dia mengaku sejauh ini belum ada sosialisasi dari sekolah maupun Pemkot Tidore Kepulauan mengenai dampak buruk internet terhadap anak-anak di kota kepulauan itu.

"Mungkin karena memang dampak buruk internet ini belum terjadi. Tapi kalau dampak buruk ini dibiarkan terus dan tidak ada pengawasan, maka pasti ada muncul kasus yang tanpa disadari," kata Misbah.

Hal senada disampaikan Sekretaris Camat Tidore Utara Ade Toroka. Ia mengatakan, sejauh ini Pemkot setempat belum melakukan sosialisasi terhadap dampak buruk internet di kalangan pelajar.

"Sampai sekarang untuk kalangan masyarakat umum ini memang kita belum lakukan sosialisasi, tapi setiap ada apel gabungan dari 14 Kelurahan di Kecamatan Tidore Utara ini kita selalu memberikan informasi berkaitan dengan penggunaan telepon pintar yang ada internet saat ini," kata Toroka.

Toroka mengatakan, sosialisasi atau imbauan kepada masyarakat dan sekolah belum dilakukan karena belum ada dampak buruk yang terjadi.

"Itu kita tidak lakukan karena memang selama ini tingkat kejahatan internet di Kecamatan Tidore Utara bagi anak-anak yang mengakses internet belum ada."

Dia mengatakan, imbauan tersebut meminta agar orangtua dan sekolah bisa melakukan pengawasan bagi anak-anak tersebut yang mengakses internet.

"Sejauh ini, baru upaya-upaya itu yang kami lakukan. Kami lakukan itu karena memang kami melihat di media itu, tingkat kenakalan remaja dan pelajar di kota-kota kan semakin tinggi. Sehingga sebelum itu terjadi pada kita di sini ya kita sudah mengantisipasi dengan upaya sosialisasi tersebut," kata dia.

Dia mengatakan, budaya malu dan peduli di Kota Tidore cukup kental. Dengan dasar itu, dia berharap bisa membentengi masyarakat setempat. "Selain itu, kalau lebih bagus lagi diperkuat dengan regulasi mengenai dampak ini," kata Toroka.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.