Sukses

Berkah Sampah, Sampahkoe Capai Omzet hingga Rp 1,8 M per Tahun

Komunitas Sampahkoe didirikan berawal dari kisah miris hidup pengangkut sampah.

Liputan6.com, Pasuruan - Kisah miris hidup pengangkut sampah menjadi awal niat Khilda Baiti Rohmah membentuk komunitas Sampahkoe pada dua tahun lalu di Cimahi. Salah satu kisah yang paling membekas di ingatannya adalah saat bertemu dengan pengangkut sampah yang hendak menjual istrinya karena kalah berjudi.

Lain waktu, ia juga bertemu dengan pengangkut sampah yang memiliki delapan anak, tetapi penghasilannya hanya Rp 350 ribu per bulan. Akibatnya, semua anak si pengangkut sampah tak bisa bersekolah.

"Saya juga bertemu dengan seorang pemulung sampah yang ditinggalkan oleh orang tuanya dan tinggal di bekas kandang sapi, tempat pembuangan sampah," tutur Khilda kepada Liputan6.com di stan pameran yang diadakan Pusat Pelatihan Kewirausahaan (PPK) Sampoerna Expo 2016 yang ke-8 di Gedung Woloe Pasuruan, Jawa Timur, Minggu, 2 Oktober 2016.

Perempuan berhijab itu akhirnya berkelana demi mencari tahu cara mengelola sampah sebelum membentuk komunitas yang berfokus pada pengolahan sampah itu.

Pengetahuan yang diserapnya kini diterapkan dengan cara mendaur ulang sampah dari dari pipa bekas, kotak susu, kulit telur, kresek plastik, dan eceng gondok menjadi berbagai macam kerajinan tangan.

Komunitas Sampahkoe juga mengembangkan energi alternatif dari sampah kertas bekas jadi bioetanol untuk pengganti solar maupun bensin.

"Kebanyakan hasil dari pengolahan sampah itu berupa handycraft. Dan alhamdulillah, saat ini kita sudah ekspor ke lima negara, di antaranya Korea, Jepang, China, India, dan Australia," kata Khilda.

Saat ditanya mengenai modal awal dan omzet penjualan per bulan, Khilda menjawab omzetnya hanya dihitung per tahun. Ia beralasan hal itu karena order yang diterima berbeda-beda setiap bulannya.

"Untuk handycraft, omzet kita per tahun mencapai Rp 400 juta, tetapi untuk bioetanol mencapai Rp 1,4 miliar per tahun," ujar Khilda.

Berawal Modal Rp 150 Ribu

Khilda menuturkan usaha yang dirintis komunitasnya tidak memerlukan modal awal besar. Hanya Rp 150 ribu saja. "Karena bahan-bahannya itu dari sampah, misal sampah enceng gondok, kayu, koran, dan sampah lainnya," kata Khilda.

Dengan ketekunan dan kerja keras, usaha yang dilakoninya itu berubah menjadi bisnis yang menggiurkan. Ia berhasil memanfaatkan teknologi dan pengetahuannya untuk bisa memasarkan produk daur ulang sampah itu hingga ke Eropa.

"Mereka tahu produk saya karena saya juga memasarkannya secara online, makanya banyak yang mengenalnya," kata Khilda.

Saat ini, Khilda berharap semakin banyak masyarakat yang menyadari, dan memahami tentang pengelolaan limbah maupun sampah.

"Karena sedih juga kalau sampah dibiarkan begitu saja dan tidak dikelola dengan baik. Padahal, potensinya sangat besar," ujar Khilda.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini