Sukses

4 Kisah Perjuangan Panjang Naik Haji yang Menggetarkan

Bukan orang kaya, orang-orang ini telaten menabung demi memenuhi panggilan naik haji. Ada yang menabung sejak zaman perang.

Liputan6.com, Jakarta Sebagian kaum muslim sangat merindukan bisa menunaikan ibadah haji. Bukan sekadar memenuhi kewajiban, bagi mereka ibadah haji adalah jawaban atas panggilan spiritual.

Masalahnya, menunaikan ibadah haji atau yang populer disebut naik haji tidak bisa sewaktu-waktu. Selain ada momen khusus, naik haji ke Tanah Suci di Arab Saudi butuh biaya yang tidak sedikit seiring lokasinya yang jauh.

Mereka yang tidak punya materi berlebih harus menabung. Tahun ini ada sejumlah calon haji dari berbagai daerah di Indonesia yang kisahnya menggetarkan. Mereka contoh orang-orang yang berjuang keras menabung dalam waktu lama untuk bisa berhaji. Mereka bukan orang kaya dari sisi materi, tapi kaya hati.

Profesinya beragam, dari tukang parkir, tukang becak, buruh tani, juga penjahit rumahan. Untuk memenuhi panggilan ke Tanah Suci mereka pun telaten menabung. Tentu butuh waktu tidak sebentar agar bisa terkumpul biaya haji. Mereka menabung belasan tahun, bahkan ada yang menabung sejak era perang melawan Belanda.

Calon haji dengan perjuangan panjang ini ada Kakek Ambari dari Cirebon, Karsim si tukang becak dari Subang, Jawa Barat, Marsini penjahit Tegal, dan Bardi tukang parkir di Yogyakarta. Penantian panjang mereka terjawab tahun ini. Kerinduan pun terobati.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Kakek Ambari Menabung Sejak Zaman Perang

Kakek Ambari bin Ahmad (90) mengucap syukur atas kesempatannya berangkat ke Tanah Suci untuk ibadah haji tahun ini. Tubuhnya yang sudah renta tidak mematahkan niat warga Kelurahan Pelandakan, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat ini untuk menunaikan ibadah haji.

Keinginannya untuk berangkat ke Tanah Suci itu tertanam sejak kakek Ambari berusia 30 tahun. "Saya buat celengan dari kaleng biskuit lalu saya patri sendiri. Hasil dari panen saya masukan ke celengan, berapa pun hasilnya, mau satu sen atau satu ketip," kata buruh tani itu kepada Liputan6.com di Cirebon, Kamis 4 Agustus 2016.

Di sela perbincangan, kakek yang berprofesi sebagai buruh tani ini mencoba mengingat kembali perjalanan hidupnya mengumpulkan segala mata uang rupiah sejak zaman Presiden Sukarno. Dia menuturkan, niatnya berangkat haji termotivasi oleh ayahnya, Ahmad, yang menunaikan ibadah haji saat itu.

Kakek Ambari mempersiapkan kesehatan sebelum ke tanah suci (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Dari motivasinya itu, dia mulai menabung di celengan sejak 1949. Suka dukanya menabung di celengan saat itu masih diingatnya.

"Sambil ikut berperang, saya juga menyempatkan diri menabung. Kalau ada penjajah Belanda, celengan saya pendam di tanah lalu saya kabur sebentar, lalu malamnya saya ambil lagi," ucap dia.

Keikhlasan hati Kakek Ambari ini rupanya membuka jalannya ke Mekah. Seiring berjalannya waktu, dia pun menukarkan koin logam hasil celengannya ke toko loak atau kolektor.

"Uang yang saya tabung kan sudah tidak laku di zaman sekarang, jadi saya jual ke kolektor atau ke pasar loak, dibayar dengan rupiah, kemudian saya tabung lagi. Sampai terkumpul Rp 35 juta, saya bayarkan biaya haji juga tunai dan baru tahun ini saya berangkat," ujar dia.

3 dari 5 halaman

Tukang Parkir Naik Haji Setelah Menabung 30 Tahun

Bardi Syafii (53) sudah lama memendam niat menunaikan ibadah haji. Bersama sang istri, Rumiyati (49), sejak 1985 ia membulatkan tekad berangkat ke Tanah Suci. Untuk itu, keduanya bekerja keras dan menyisihkan uang khusus.

"Saya buka lapak jualan koran dan rokok di Mangkubumi. Dulu saya sisihkan Rp 500-Rp 1.000 sedikit demi sedikit," ujar Bardi di Yogyakarta, Selasa, 2 Agustus 2016.

Ia membuka lapak dari pagi sampai malam hari. Bardi pun membedakan uang yang ditabung untuk haji dan nafkah keluarga. Ia juga ingat untuk membiayai sekolah dua anaknya. "Tabungan ini di luar uang biaya sekolah anak. Anak-anak harus tetap sekolah, demi masa depan mereka," ujar dia.

Adapun istrinya, Rumiyati membuka warung lotek di Jalan Mangkubumi untuk menambah tabungan pergi haji. Kerja keras pasangan itu tak selamanya mendapat dukungan oleh teman-temannya.

"Ya ada ditanya, kamu dan istrimu kerja siang malam uangnya itu mau buat apa? Saya jawab mau naik haji, eh malah mereka tertawa, tetapi itu jadi pelecut semangat," kata Bardi.

Tukang parkir di Yogya berhasil naik haji setelah menabung 30 tahun (Liputan6.com / Fathi Mahmud)

Untuk menambah uang tabungannya, mulai 2001 Bardi menjadi tukang parkir di kawasan Jalan Mangkubumi Kota Yogyakarta. Dari usaha ini, ia bisa mendapatkan penghasilan sekitar Rp 75.000 per hari. Setiap usai menjaga parkir, ia bisa menabung Rp 5.000 sampai Rp 10.000.

"Tidak nabung di bank, tapi uang saya simpan di kaleng," kata Bardi.

Bardi menegaskan niat pergi haji memang harus dijaga benar jika ingin pergi haji. Pada 2005, ia mengingkari janjinya dengan menggunakan uang tabungan naik haji untuk bisnis properti. Bukan untung, ia malah merugi karena tanah yang dibelinya bermasalah.

"Uang saya ambil Rp 40 juta. Maunya diputarkan, tapi mungkin karena sudah mengingkari janji malah jatuh rugi. Janji awalkan gunakan tabungan itu untuk naik haji malah saya gunakan bisnis," kata dia.

Pengalaman itu membuat Bardi dan istrinya kembali membulatkan tekadnya seperti semula. Ia pun kembali bekerja lebih keras seraya berdoa agar diberikan kelancaran rezeki.

"Niat saya kalau uang sudah terkumpul lagi, saya akan mendaftar naik haji setelah kedua anak saya lulus kuliah dan bekerja," katanya.

Akhirnya, kedua putranya lulus kuliah dari Universitas Islam Indonesia (UII) dan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta untuk jenjang S1. Mereka juga telah mendapatkan pekerjaan. Ia pun akhirnya sudah mendaftar haji enam tahun lalu dan berangkat tahun ini.

4 dari 5 halaman

Penjahit Rumahan Wujudkan Mimpi Ibunda Berhaji

Marsini (45), warga Kejambon, Kota Tegal, Jateng, kini bisa bernafas lega. Setelah menabung selama 23 tahun lamanya, ia akan berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji pada tahun ini.

Tak hanya itu, ia bahkan mengajak serta ibu kandungnya yang sudah berusia 83 tahun menunaikan ibadah haji bersama untuk menjalankan rukun Islam kelima itu.

Ia mengatakan, ketekunannya menjahit sejak masih gadis dan menyisihkan sejumlah uang setiap bulan untuk menabung biaya berhaji kini membuatkan hasil.

"Sudah sejak tahun 1993 lalu saya sudah mulai menekuni usaha jahit rumahan. Alhamdullilah, usaha keras puluhan tahun lalu sebentar lagi saya dan ibu kandung saya, Rastini, bisa mendapatkan kesempatan berkunjung ke rumah Allah SWT," ucap Marsini saat ditemui di kediamannya, Selasa 16 Agustus 2016.

"Sepuluh tahun pertama saya menjadi penjahit rumahan, hasilnya hanya cukup untuk menutup utang dan memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. Tapi saya bersyukur, setelah utang-utang saya lunas akhirnya uang sebesar Rp 1 juta setiap bulan sekali ditabung sudah terkumpul bisa membiayai saya berangkat haji," ucap perempuan beranak tiga ini.  

Semestinya, Marsini (45), penjahit rumahan asal Tegal, baru naik haji pada 2027. (Liputan6.com/Fajar Eko Nugroho)

Dari hasil menjahit, Marsini dapat memperoleh uang lebih dari Rp 2 juta setiap bulannya. Namun, keuntungan lebih besar didapatkan saat memasuki tahun ajaran baru dan musim hajatan.

"Sebagian uang hasil menjahit sengaja saya tabung untuk biaya berhaji sama ibu kandung," tutur dia.

Karena usia ibu kandungnya yang sudah tua, Marsini mendaftarkan ibunya terlebih dahulu untuk berangkat haji pada 2011 lalu. Kemudian, ia bersama suaminya mendaftar haji pada 2013.

Saat pemberangkatan haji tahun ini, kantor Kementerian Agama setempat menunjuk Marsini sebagai pendamping ibu kandung karena usia ibunya yang sudah lanjut. Karena itu, ia dan sang ibu bisa berangkat haji bersama. Sementara, suami Marsini harus menunggu daftar antrean keberangkatan haji dari kantor Kementerian Agama Kota Tegal.

"Meskipun tidak bersama suami, saya sangat bersyukur mewujudkan keinginan ibu kandung saya berhaji. Apalagi, saya bisa bersama menemani dan menjaga ibu untuk menunaikan ibadah haji. Mimpi saya sebentar lagi terwujud, sebagai anak saya berusaha memenuhi keinginan orangtua saya yang tinggal satu-satunya ini," dia memaparkan.

Selain itu, ungkapan rasa syukur Marsini juga lantaran bisa berangkat haji lebih cepat karena harus mendampingi sang ibu. Padahal sesuai kuota haji reguler, ia seharusnya baru bisa berangkat pada 2027.

"Saya yakin kemudahan ini sudah menjadi takdir Allah SWT. Saya sudah siap berangkat menghadap Sang Pencipta," dia menambahkan.

5 dari 5 halaman

Tukang Becak Naik Haji

Karsim, seorang pengayuh becak asal kampung Sidamulya, Desa Ciasem, Kecamatan Ciasem, Subang, Jawa Barat, akan berangkat ke kota suci Mekah pada musim haji tahun ini.

Dia berangkat bersama istrinya, Ratimi. Keduanya akan berangkat menunaikan rukun Islam kelima pada 23 Agustus mendatang melalui embarkasi Bekasi. Karsim bisa berangkat naik haji setelah melalui proses panjang. Dia harus menyisihkan uang hasil mengayuh becak selama 15 tahun.

"Setiap hari saya sebisa mungkin harus bisa menabung agar cita-cita saya dan istri terlaksana. Saya menabung per hari antara Rp 25 ribu hingga 50 ribu rupiah," kata Karsim di Subang, Selasa, 9 Agustus 2016.

Tukang becak naik haji setelah menabung 15 tahun (Liputan6.com / Abramena)

Sebelum terlaksana bisa membayar pembiayaan naik haji. Kekhawatiran kerap dirasakan Karsim dan istri. Sebab penghasilannya yang tidak menentu dan tidak setiap hari dia bisa mendapatkan uang dengan hitungan yang besar.

"Ya begitu, kalau dapat uang lebih besar 75 persennya saya masukan ke tabungan," ujar Karsim.

Saat ini setelah cita-cita hampir terlaksana untuk menjalankan ibadah haji, Karsim dan Ratimi semakin tidak sabar. Dia mengaku ingin segera untuk menjadi tamu Allah di Baitullah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini