Sukses

Teror Bajak Laut Menjadi-jadi, Nelayan Pantura Berhenti Melaut

Teror bajak laut semakin menjadi-jadi di perairan Sumatera dan Jawa membuat nelayan jadi korban. Namun, polisi justru memarahi nelayan.

Liputan6.com, Cirebon - Meski kondisi cuaca di perairan Laut Jawa dan Sumatera sedang baik, nelayan Pantura, khususnya Cirebon, Jawa Barat justru enggan melaut. Sebagian besar dari mereka mengeluhkan minimnya jaminan keamanan bagi nelayan untuk mencari ikan di wilayah perairan Indonesia.

Keputusan berhenti melaut dimulai sejak maraknya kasus perompakan dan pembajakan perahu nelayan sejak tiga bulan terakhir.

"Data dua minggu lalu saja ada 64 kapal nelayan yang pulang dengan tangan hampa karena semua hasil tangkapannya 3-4 kuintal dirampas perompak," keluh Rosyid, salah seorang nelayan Desa Gebang Kulon Dusun IV Blok Madrasah, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jabar, Minggu 21 Agustus 2016.

Setelah kejadian tersebut, lanjut Rosyid, hampir semua nelayan di Cirebon memilih berhenti melaut. Data yang didapat sementara, sekitar 300-400 nelayan di kawasan Pantura Jawa Barat hingga Jawa Tengah menjadi korban perompak dan bajak laut.

Sejumlah nelayan yang juga menjadi korban perompak dan pembajak selain dari Cirebon dan Indramayu, yakni nelayan dari Pasir Putih, Karawang, dan Tegal, Jawa Tengah.

"Kalau bajak laut itu kita dihabisi semua barang yang ada di kapal menyisakan apa yang dipakai di badan saja. Kalau perompak hanya mengambil hasil tangkapan saja dan kita kadang diberi Rp 200 ribu dari perompak entah untuk apa," tutur dia.

Dia mengatakan, perompak tersebut semakin beringas. Mereka mengancam dengan senjata rakitan, merampas semua harta para nelayan yang sedang melaut. Sementara, wilayah perairan yang menjadi operasi para perompak dan pembajak yakni di Perairan Lampung dan Palembang.

Untuk wilayah Lampung biasanya perompak beroperasi di perairan Siputih, Sungai Burung, Teladas, Penet, Pelabuhan Maringgai (Lampung), perairan Masuji (Perbatasan Lampung-Palembang). Sementara untuk di wilayah Palembang biasanya perompak beroperasi di perairan Sibur, Sumur, Ketapang, Tanjung Menjangan, Sungai Pasir sampai Sadai.

"Ciri-ciri perompak dan pembajak itu sama-sama menggunakan kapal speed, hanya saja kapasitasnya berbeda. Kalau perompak tiga orang, kalau pembajak bisa sampai lima orang. Kalau perompak dulu masih bisa diajak bicara karena pelele (transaksi di atas perahu) ketika nelayan tidak punya hasil tangkapan dilepas. Tapi sekarang tidak sama sekali. Perompak malah hampir sama dengan pembajak," ujar Rosyid.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Dimarahi Polisi

Namri, nelayan Cirebon lain bercerita, satu nelayan atau perahu minimal didatangi tiga speed (julukan untuk perompak) dan membawa hasil tangkapan dengan pelele yang lebih murah dibandingkan di darat.

"Satu perahu diambil bisa sampai 2 fiber full boks, didarat satu fiber bisa 80 kg atau Rp 3,7 juta, kalau kena sama speed di laut bisa sampai 15-25 kg bahkan kami hanya dilempari uang Rp 200 ribu saja," ungkap dia.

Namri juga mengaku selama melaut, sudah tiga kali menjadi korban pembajak, sementara untuk korban perompak sudah puluhan kali. Para nelayan pun sudah berulang kali melapor pihak berwajib bahkan hingga ke jajaran Polda Lampung.

Namun, laporan tersebut tidak ada reaksi dan tindaklanjut apapun dari pihak kepolisian. Bahkan, nelayan mensinyalir ada kongkalingkong anara para pelaku perompak dan pembajak dengan Dir Polair Polda Lampung.

"Malah setiap melapor dimarahi, terkena perompak dan kami melapor malah dimarahi. Sampai Polair menantang untuk menjadi saksi, dan saya beranikan diri menjadi saksi tapi tak ada reaksi. Malah bos kami (pembeli hasil tangkapan nelayan) dimintai Rp 5 juta per bulan ke Polair Siputih dan Ciladas dengan alasan buat pengamanan. Nyatanya masih saja kami jadi korban," ungkap dia kesal.

Dia mengaku, keputusan nelayan tidak mencari ikan di perairan Sumatera membuat para perompak maupun bajak laut memperluas wilayah operasinya di Laut Jawa. Para perompak dan pembajak tersebut sudah mulai beroperasi di perairan Jawa sejak awal Agustus.

"Mereka (perompak) sudah muali masuk ke perbatasan Lampung sampai Karawang. Kami malah semakin khawatir padahal bulan Agustus sampai September bulan hokinya nelayan mendapat hasil tangkapan rajungan yang bagus utamanya di perairan Sumatera. Karena kami sudah tidak melaut lagi di perairan Sumatera, akhirnya perompak ke Laut Jawa," ucap dia.

Dia pun mengatakan, biasanya para perompak dan pembajak banyak beraktivitas bongkar muat hasil rampasan dari nelayan di kawasan perairan di Pulau Subira. Tepatnya sebelum pengeboran Intan. Selain itu, pengepul hasil rampasan penjahat laut juga ada di wilayah perairan Ciladas Rawajitu dan Siputih.

"Logikanya kalau kapal speed kan kecil sekali, hanya menampung tiga orang, kok malah bongkar muat hasil laut itu dari mana? Alasan beli di laut padahal kami yang menjadi korban," ujar Namri.

3 dari 3 halaman

Terjerat Utang

Ketua Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Kabupaten Cirebon Ribut Bachtiar mengatakan, dari kejadian tersebut, nelayan kerap merugi bahkan sudah hampir dua bulan ini tidak melaut. Dia menyebutkan, satu kapal terdapat 5-6 nelayan atau ABK. "Satu kali melaut mengeluarkan biaya Rp 7 juta sampai Rp 8 juta terdiri dari solar 300 liter, es balok 25-30 balok, umpan 2,5 kuintal dengan lama nya mencari ikan hingga satu minggu. Jika ditengah laut kami kena perompak bahkan pembajak ya kami tidak ada penghasilan," ungkapnya.

Ribut Bachtiar yang juga pernah menjadi korban pembajakan itu menceritakan para nelayan kerap berhutang hingga Rp 100 juta kepada tengkulak jika hasil tangkapan diambil semua oleh perompak maupun pembajak. Hutang tersebut untuk menutupi operasional hasil menangkap ikan termasuk membayar ABK yang ikut pemilik kapal mencari ikan.

Pembayarannya disesuaikan dengan hasil tangkapan dan kebutuhan nelayan jika kondisi perairan tidak cocok untuk diarungi nelayan mencari ikan. "Satu ABK dibayar oleh pemilik kapal Rp 5-6 juta per bulan dan yang punya perahu bisa mendapat sampai Rp 30 juta per bulan. Bayarnya disesuaikan dengan hasil tangkapan dan kebutuhan nelayan. Tengkulak kami ya bos kami yang biasanya membeli hasil tangkapan kami," ungkap Ribut.

Ribut mengatakan, dari kejadian itu pula, para nelayan di kawasan Pasir Putih Karawang, Cirebon, Indramayu hingga Tegal Jawa Tengah akan menggelar aksi pada Selasa (23/8/2016) di gedung KKP Jakarta. Aksi tersebut juga akan dilanjutkan ke depan Istana Negara.

"Menteri Susi harusnya jangan terlalu fokus pada Illegal Fishing. Lihat kami juga butuh perlindungan negara butuh kenyamanan dan keamanan saat mencari negeri di perairan Indonesia ini," ucap Ribut.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.