Sukses

Jogja Tempo Dulu dari Buku Tua Tukang Loak

Pameran Mengenang Djogjakarta itu menampilkan sejumlah foto saat ibu kota RI dipindahkan ke Yogyakarta, termasuk di dalamnya potret Sukarno.

Liputan6.com, Yogyakarta - Sejarah Yogyakarta yang pernah menjadi ibu kota Indonesia selama empat tahun (1946-1949) tergambar dalam pameran reproduksi foto bertajuk Mengenang Djogjakarta Ibu Kota Negara Republik Indonesia di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) pada 11-20 Agustus 2016.

"Foto-foto ini diambil dari sebuah buku yang dibuat oleh Kementerian Penerangan dan diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1950," ujar Hermanu, kurator BBY seusai pembukaan pameran, Kamis malam, 11 Agustus 2016.

Ia mengungkapkan buku tersebut diperoleh dalam keadaan rusak parah karena halamannya sudah tidak berurutan lagi dan kertasnya mulai lapuk. Buku berjudul Lukisan Revolusi Rakjat Indonesia 1945-1949 itu dibeli dari tukang loak di Semarang sekitar dua bulan lalu.

Setelah itu, ia berinisiatif untuk mengadakan pameran reproduksi foto dengan memindai foto-foto di dalam buku, diedit ulang supaya tidak terlihat pecah, dan dicetak untuk dipamerkan.

"Sebenarnya jumlahnya ratusan, tetapi yang sesuai tema Yogya pernah jadi Ibu Kota RI ada sekitar 107 dan sebanyak itu pula lah foto yang dipamerkan kali ini," tutur Hermanu.

Ia juga mengatakan, buku tersebut dibuat seusai ibu kota Indonesia dikembalikan ke Jakarta pada 1950. Menurut dia, buku tersebut menjadi salah satu rekaman sejarah yang masih tersisa, mengingat pasca-1966, segala sumber tulisan dan buku berbau Sukarno dimusnahkan rezim yang berkuasa kala itu.

Hermanu menerangkan, dalam buku tersebut banyak foto yang melukiskan aktivitas Sukarno pasca kemerdekaan yang memindahkan ibu kota Indonesia ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Contohnya, foto Sukarno bersama Sultan HB IX. Bahkan, kata dia, Sukarno pada akhir 1949 pernah mengatakan Yogya menjadi termahsyur karena jiwa kemerdekaannya.

"Pameran ini diharapkan dapat memperlihatkan perjuangan mempertahankan Indonesia mati-matian, bahkan sampai memindahkan ibu kota ke Yogyakarta," kata dia.  

Selain itu, juga untuk menunjukkan peran Yogyakarta dalam mempertahankan Indonesia dan menyatakan dirinya sebagai bagian dari NKRI.

Budayawan Sindhunata menuturkan Yogyakarta memberikan diri menjadi ibu kota saat kondisi negara kritis.  "Keistimewaan Yogya tidak hanya dari budaya tetapi juga politik," ujar dia.

Ia menilai pasca-proklamasi, banyak pihak yang tidak senang dengan kemerdekaan Indonesia dan pada saat yang sama banyak orang dalam kesederhanaan mempertahankan republik. "Pemindahan ibu kota juga melahirkan banyak gerilyawan yang berusaha membela republik habis-habisan," kata Romo Sindu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.