Sukses

Fenomena Aneh Ikan dan Buaya di Laut Timor

Pencemaran Laut Timor akibat meledaknya anjungan minyak Montara hingga pemasangan rumpon raksasa semakin membuat nelayan menderita.

Liputan6.com, Kupang - Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni mengatakan pencemaran Laut Timor akibat meledaknya anjungan minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada Agustus 2009 telah mengubah arus migrasi ikan dari Australia menuju Laut Timor.

"Pencemaran hebat akibat muntahan minyak mentah dari anjungan Montara itulah yang menjadi penyebab utama berkurangnya ikan di perairan Laut Timor," kata dia saat menanggapi keluhan para nelayan soal pemasangan rumpon raksasa di perairan Laut Timor yang menghambat migrasi ikan, di Kupang, dilansir Antara, Senin (13/6/2016).

Pernyataan Tanoni itu membantah pendapat nelayan Kupang. Dalam sebuah sesi dialog dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Pelabuhan Pendaratan Ikan Tenau Kupang, Minggu 12 Juni 2016, para nelayan Kupang mengeluh kesulitan mendapatkan ikan dalam jumlah banyak di perairan Laut Timor dan sekitarnya.

Mereka menuding hal itu akibat pemasangan rumpon oleh kapal-kapal nelayan dari luar Nusa Tenggara Timur di wilayah tersebut. Rumpon-rumpon raksasa yang ditebarkan kapal porse sine besar dari Benoa, Bali itu diduga kuat menghambat migrasi ikan karena ikan-ikan tersebut terperangkap masuk ke dalam jaring rumpon.

Mendengar keluhan para nelayan, Menteri KKP Susi Pudjiastuti memerintahkan jajarannya untuk segera menenggelamkan rumpon-rumpon tersebut di perairan Laut Timor, karena di Indonesia belum ada izin pemasangan rumpon.

Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) yang tengah memperjuangkan kasus pencemaran Laut Timor di Pengadilan Australia itu mengatakan, berdasarkan hasil penelitian para ahli perikanan dan kelautan dari Amerika Serikat dan Australia, pencemaran minyak di Laut Timor itu telah mengubah arus migrasi ikan dari Australia ke wilayah perairan Laut Timor.

"Banyak fakta membuktikan bahwa pencemaran Laut Timor mengakibatkan migrasi ikan dari Australia berubah. Seperti kasus matinya puluhan ikan paus dan ikan lumba-lumba yang terdampar di Pulau Sabu dan Lembata beberapa waktu lalu," ujar Tanoni.

Selain mengubah migrasi ikan, kata dia, kasus pencemaran tersebut juga telah menghancurkan usaha budidaya rumput laut para petani nelayan di Nusa Tenggara Timur, terutama di wilayah pesisir Pulau Rote, selatan Pulau Timor dan Sumba serta beberapa daerah lain di NTT.

Mantan agen imigrasi Australia itu juga meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk memperhatikan puluhan ribu warga pesisir pembudidaya tanaman rumput laut di NTT yang sejak terjadinya pencemaran Laut Timor pada 2009, menderita kerugian yang sangat signifikan akibat menurunnya hasil panen rumput laut hingga mencapai 85 persen.

"Jika saat ini sebagian wilayah perairan pantai sudah mulai berkembang budidaya rumput laut, mutu rumput laut pun sudah jelek. Itu karena wilayah perairan budidaya sudah terkontaminasi dengan minyak," dia menambahkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Fenomena Aneh

Selain itu, munculnya fenomena aneh dengan banyaknya buaya di wilayah perairan pantai Kabupaten Kupang yang telah membunuh sejumlah warga lokal, sebagai sebuah indikasi bahwa habitat mereka sudah tercemar.

Menurut pakar perikanan Australia, perlu dilakukan penelitian ilmiah tentang fenomena tersebut. Itu karena kemungkinan buaya-buaya ini sudah sulit mendapatkan makanan sehingga terpaksa muncul di wilayah perairan pantai yang kemudian memangsa penduduk lokal.

Mengutip hasil penelitian dari WWF Australia, Tanoni mengatakan wilayah pencemaran minyak yang terjadi di selatan Pulau Rote yang merupakan pusat migrasi ikan dari Australia menuju Laut Timor, telah hancur sehingga memicu terjadinya perubahan migrasi ikan.

"Mungkin juga pemasangan rumpon di Laut Timor ikut menghambat migrasi ikan, tetapi rasanya tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan kasus meledaknya anjungan minyak Montara di Laut Timor pada 21 Agustus 2009," ujar Tanoni.

Ia menambahkan di selatan Pulau Rote, berdasarkan hasil penelitian para ahli dari Amerika Serikat, muntahan minyak mentah bercampur zat kimia serta dispersant beracun itu mencapai sekitar 10.000 - 20.000 barel per hari selama 74 hari itu (1 barel = 159 liter).

"Pemasangan rumpon, serta pencurian ikan di Laut Timor dengan menggunakan pukat raksasa (trawl) sudah lama berlangsung, tapi tidak mengubah migrasi ikan di perairan NTT secara signifikan," kata Tanoni.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini