Sukses

Batik Hijaiyyah, Ini Arab Bukan Islam

Batik Hijaiyah sudah memasuki tahun keenam. Produksi meningkat, pemesanan dan penjualan merambah luar pulau dan luar negeri.

Liputan6.com, Semarang - Pertanyaan berat seputar agama dan negara tiba-tiba memenuhi kepala Suswahyuni, seorang pegiat fashion dan pencinta batik Semarang. Seperti apakah Indonesia, apakah sekuler atau agamis, atau tengah-tengah?

Pertanyaan itu muncul seiring maraknya protes penggunaan kutipan Alquran sebagai bagian dari fashion. Nah, kegelisahan Suswahyuni justru melahirkan motif batik genre baru, yakni Batik Hijaiyyah. Batik ini juga mencomot huruf-huruf bahasa Arab alias huruf Hijaiyyah.

"Saya hanya diajari bahwa kita memiliki ideologi jalan tengah, yakni Pancasila. Tak jelas seperti apa, tapi ada yang menonjol, yakni semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Pluralisme," kata Suswahyuni saat berbincang dengan Liputan6.com seputar proses kreatifnya di Semarang, Jawa Tengah, Jumat, 10 Juni 2016.

Semangat dan kesadaran pluralisme adalah modal besar bangsa. Namun sayangnya, kata Suswahyuni, fakta terkait pluralisme masih menyedihkan.

Banyak insiden tidak menunjukkan sikap toleransi penghargaan pluralisme. Kadang pembelaan atas identitas juga dilambari sempitnya pengetahuan.

"Maka ketika melihat huruf Arab menjadi bungkus tempe misalnya, tanpa tahu bacaannya apa, maka yang dia rasakan adalah penghinaan. Meski itu sobekan koran berbahasa Arab misalnya," kata Suswahyuni.

Suswahyuni kemudian mendatangi budayawan Djawahir Muhammad dan juga pegiat batik Semarang Umi S. Adisusilo untuk berdiskusi. Akhirnya mereka sepakat ikut mengampanyekan pluralisme, tetapi justru dengan memanfaatkan huruf Arab.

"Saya sempat khawatir karena menggunakan huruf Arab. Namun huruf-huruf ini berdiri sendiri sebagai huruf. Bahkan sebagai kata saja tidak," kata Suswahyuni.

Budayawan dan sejarawan Semarang Djawahir Muhammad ikut memberi garansi bahwa motif batik dengan huruf Arab bukan suatu penghinaan. Menurut Djawahir, penggunaan huruf Arab itu tak lebih dari budaya pop semata, bukan mengutip dari Alquran.

"Sama halnya dengan pemakaian huruf Yunani dari alpha sampai omega, atau huruf Latin a sampai z," kata Djawahir.

Suswahyuni (kiri) bersama Sekda Gorontalo  Winarni Dien Monoarfa menunjukkan lembaran Batik Hijaiyyah (Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Pergulatan batin mereka akhirnya menjadi sebuah produk. Tempat produksinya pun akhirnya menjelma menjadi sanggar Batik Sri Asih. Produksinya jelas memiliki ciri dan karakter, yakni dengan huruf Hijaiyah.

Suswahyuni berharap dengan batik yang diproduksinya itu masyarakat tak gampang dan serampangan memprotes penggunaan huruf-huruf Arab. Sepanjang tidak mengutip ayat Alquran tentu saja perlu diperlakukan sebagai budaya pop saja.

Kini batik Hijaiyyah sudah memasuki tahun keenam. Produksi makin meningkat, bahkan pemesanan dan penjualan sudah merambah luar pulau dan luar negeri.

Masyarakat di Semarang sendiri sudah mafhum dan bisa membedakan bahwa penggunaan huruf arab sebagai materi pengungkap kegelisahan kreatif berbeda dengan mengutip Alquran.

"Saat Ramadan seperti ini, kami sempat kewalahan juga. Namun kami tetap istiqamah bahwa niat awal adalah untuk penyadaran kebhinnekaan. Bukan komersial. Sehingga untuk kepentingan komersial, kami juga mengerjakan motif-motif lain bergaya Semarangan," kata Suswahyuni, pegiat fashion dan pencinta Batik Semarang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.