Sukses

Barrataga Sistem Rumah Tahan Gempa Asli Yogyakarta

Rumah tahan gempa hasil riset dari profesor lokal itu terbukti tangguh saat gempa melanda Yogyakarta pada 2006.

Liputan6.com, Yogyakarta - Satu dekade lalu, gempa di Yogyakarta meluluhlantakkan bangunan dan rumah warga. Rumah dan bangunan yang hancur waktu itu disebut belum memiliki struktur tahan gempa. Pakar Rekayasa Kegempaan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Sarwidi mengatakan gempa bumi menjadi ancaman bagi warga yang tidak tinggal di rumah tahan gempa.

Meski begitu, rumah tahan gempa tidak harus meninggalkan tradisi yang ada pada masyarakat setempat. Dengan begitu, warga dapat tinggal aman dan nyaman sesuai keinginan.

"Gempa itu tidak membunuh orang tapi rumah roboh yang membuat jadi korban dan menimbulkan kerugian dan kita tutup siklus itu dengan rumah tahan gempa. Ada yang bilang rumah tahan gempa. Bagaimana bikin rumah itu bisa dipermurah namun tahan gempa," ujar Sarwidi, beberapa waktu lalu.

Sarwidi mengatakan ada dua kategori bangunan tahan gempa. Pertama, bangunan teknis modern yang meliputi kantor dan lembaga pendidikan. Kedua adalah bangunan non-engineer yaitu rumah biasa yang sedang dikembangkan dirinya. Penelitian tentang rumah biasa tahan gempa penting demi menyelamatkan korban sebanyak-banyaknya di Indonesia.

Bangunan itu kemudian disebut Barrataga yang merupakan kepanjangan dari Bangunan Rumah Rakyat Tahan Gempa. Barrataga itu mempertahankan kesan tradisional, seperti bentuk rumah limas atau joglo. Meski begitu, Sarwidi juga menyiapkan model rumah modern yang tahan gempa.

"Aslinya yang bagus itu semua dari kayu atau dari bambu. Jelas itu tahan gempa. Masalahnya, masyarakat itu sudah mulai mengubah menyesuaikan kondisi dengan mengganti tembokan karena mungkin lebih aman, tidak mudah terbakar dan kena angin juga kuat. Kesannya lebih modern. Kita akomodasi tradisional di bentuk atapnya," kata Sarwidi.

Sarwidi mengatakan sudah mulai melatih mandor bangunan tahan gempa sejak 2004. Ia mengakui sistem Barrataha memerlukan biaya lebih mahal sekitar 10-15 persen. Tambahan biaya itu diperlukan untuk memberi jaminan keamanan yang lebih bagi hunian. Hal itu terbukti pada bangunan yang sempat didirikannya di Bantul pada 2004 lalu.

"Saat gempa itu, bangunan yang dibuat para mandor itu tidak ada yang roboh dan mungkin hanya retak-retak sedikit. Walaupun sekitaranya pada ambruk semuanya. Fotonya ada di museum saya itu. Bencana gempa itu tidak terjadi jika bangunan rumah-rumah warga itu kokoh dan tahan gempa," ujar Sarwidi.

Filosofi Barrataga

Barrataga, kata Sarwidi, memiliki filosofi yaitu untuk menyelamatkan diri. Cara untuk menyelamatkan diri itu ada dua, yakni memperkuat diri dan melemahkan lawan. Yang dimaksud memperkuat diri pada Barrataga terlihat dari rangka-rangkanya yang menggunakan beton kolom, balok bawah, balok tepi atas, balok lantai dan menyambungnya dengan simpul-simpul Barrataga agar tidak patah saat gempa. Kedua, pondasinya harus kuat. Bahan pondasi yang murah di Indonesia adalah pasir.

"Pasirnya itu 20 cm, jangan kurang dari itu. Kalau lebih dari itu masih perlu penelitian. Yang jelas jangan kurang dari itu. Peredamnya itu agar getaran itu bisa diredam sehingga getaran bangunan tinggal sekian persen dan getaran gempa itu nanti akan terserap 20 persen dan tinggal 80 persen," tutur Sarwidi.

Sarwidi mengatakan jika saat ini ia terus meriset pembangunan rumah tahan gempa. Ia berharap risetnya dapat digunakan warga sehingga ada perubahan setiap tahunnya.

Ia juga terus berkomunikasi dengan para mandor yang pernah dilatihnya. Ia telah melatih 1000 mandor sejak 2004 dengan menggunakan dana dari luar dan dalam negeri. Dari 1000 mandor yang ada, 400 orang di antaranya benar-benar intens menerapkan Barrataga.

"Yang 400 ini yang bena- benar mengerti konsep yang saya kasih. Jadi bener-bener dua hari saya latih, langsung pakai peraga. Saya langsung pakai film dan ke lapangan," ujar dia.

Sarwidi menegaskan jika rumah yang dirancangnya dengan sistem Barrataga ini dapat menahan guncangan gempa sampai 7-8 MMI. Ia berharap riset yang sudah dilakukan ini dapat diterapkan dan terus dikembangkan sehingga bisa mengurangi bencana gempa. Meski begitu, ia mengaku tidak mudah mengajak masyarakat menggunakan sistem ini.

"Sekarang orang sudah mulai peduli tapi perlu ada pengingat. Kampanye ke sekolah-sekolah seperti di museum. Saya baru satu tapi nantinya ada cabang banyak di seluruh Indonesia. Ini seadanya untuk mengingatkan ada kejadian gempa. Untuk kepedulian yang tinggi," ujar Sarwidi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini