Sukses

Candi Asu di Kaki Merapi, Monumen Peringatan Bahaya Seks Bebas

Nama Candi Asu diambil dari sosok yang tak bisa mengontrol gejolak seks yang berkobar-kobar.

Liputan6.com, Semarang - Perilaku seks bebas konon setua peradaban manusia. Dalam berbagai cerita dikisahkan kelemahan tak kuasa menahan libido ini tak hanya milik manusia rendahan, tetapi juga kaum ningrat, brahmana, bahkan mereka yang berderajat dewa.

Candi Asu di Dusun Sengi Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, adalah salah satu monumen untuk mengingat perilaku tersebut. Adalah kisah Dewindani, seorang ningrat keturunan dewa, yang kisahnya diabadikan menjadi nama candi ini.

Meski tidak banyak catatan tentang candi mungil ini, sejarah lisan yang lekat dengan mitos menceritakan sejarah Candi Asu. Menurut Mbah Rebi, salah satu orang yang dituakan di sana, Dewindani adalah tipikal perempuan sukses. Ia mampu meraih segala kebutuhan duniawinya.

"Dia itu tempat tinggalnya di keraton. Biasa makan enak, apa yang diinginkan keturutan," kata Mbah Rebi kepada Liputan6.com pertengahan April lalu.

Meskipun demikian, ada satu hal yang Dewindani tidak mampu mengelolanya, yakni gairah seksual yang meletup-letup. Jika melihat lelaki tampan, libido Dewindani melonjak.

Dari titik itulah derajat Dewindani yang berdarah dewa merosot dahsyat menjadi setara binatang. Ia akan menghalalkan segala cara dan tempat.

"Mungkin itu menjadi kutukan. Dewindani sampai meninggal bahkan berubah menjadi sapi (binatang suci kultur hindu) karena ia berdarah dewa, tapi penampakannya seperti anjing karena perilakunya," kata Mbah Rebi.

 

Candi Asu di kaki Merapi monumen pelajaran seks purba (Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Wujud Dewindani itu pula yang sekarang menjadi arca di sisi samping candi, menjadi salah satu pelengkap. Konon, ini menjadi peringatan agar manusia menjaga perilakunya dari jeratan seks bebas.

Meski demikian, Mbah Rebi juga mengingatkan bahwa dalam mitologi, anjing tidaklah terlalu buruk. Ia adalah satu-satunya binatang yang kuat menemani Yudistira sampai ke pintu surga. Sebagai balasannya, Yudistira meminta agar anjingnya diizinkan masuk surga.

"Namun karena dewa tidak mengizinkan, Yudistira memilih batal masuk surga. Ini pesan moralnya sangat luar biasa. Tak ada kebaikan yang mutlak, tak ada pula keburukan yang mutlak," kata Mbah Rebi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Mitos Candi Asu

Candi Asu memiliki panjang 7,5 meter dan lebar candi 8 meter. Saat ini hanya tersisa bagian pondasi dan kaki candi dengan ketinggian 2,5 meter.

Pada salah satu bagian candi terdapat bekas sumur sedalam 5 meter dan anak tangga sebanyak 9 undakan. Salah satu tembok candi yang tersisa memiliki tinggi 3,5 meter. Pada bagian utara bangunan ini, terdapat relung.

Berdasarkan catatan di Balai Pelestarian Cagar Budaya, candi ini berdiri saat pemerintahan Prabu Hayuwangi Darmalih Salingsinga atau Rakai Hayuwangi pada abad VIII mendekati masa Hindu-Buddha.

Lama candi ini terpendam dan tak berwujud, hingga seorang warga berkebangsaan Belanda bernama de Plink menemukannya. Candi ini pun kemudian digali. De Plink tak sendirian. Ia mengajak masyarakat setempat untuk menggali.

Selain mitos yang hidup, nama "Asu" yang disematkan juga memiliki asal-usul versi lain. Konon asal-muasal nama Asu yang artinya anjing ini, dari kata Ngaso. Ngaso di sini juga merupakan bahasa Jawa yang artinya 'istirahat'.

Candi Asu di kaki Merapi monumen pelajaran seks purba (Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Menurut legenda, seorang raja, yaitu Prabu Hayuwangi Darmalih Salingsinga atau Rakai Hayuwangi, datang ke tempat ini untuk beristirahat. Maksud dari beristirahat adalah meninggal dan candi ini merupakan makam dari sang prabu.

Masyarakat sekitar candi memiliki kepercayaan bahwa candi ini dipelihara oleh tokoh yang bernama Ki Budayana, Ki Panjaloka, dan Ki Panjalo. Kepercayaan ini masih dipegang teguh oleh mereka yang sudah tua.

Mereka yang datang ke candi ini dilarang keras membawa minyak gosok atau balsem karena barang itu akan hilang. Tidak hanya itu saja, seluruh badan akan merasakan sengatan minyak gosok atau balsem yang dibawa tersebut.

3 dari 3 halaman

Pemujaan Arwah

Candi ini merupakan candi peninggalan zaman kerajaan Mataram Kuno dari trah Wangsa Sanjaya (Mataram Hindu). Candi Asu berada di lereng Gunung Merapi sebelah barat di tepian Sungai Tlingsing Pabelan.

Pada badan candi terdapat relief hiasan flora di empat sisi dinding candi dan terdapat relief Kinara-Kinari (burung) sebagai hiasan plisir yang mengitari dinding candi. Relief Kinara-Kinari ini sebenarnya banyak terukir di candi-candi lain peninggalan Mataram Kuno di Jawa Tengah, seperti di Candi Plaosan, Ratu Boko, dan Candi Ijo.

Candi Asu Sengi bergaya candi Jawa Tengah bagian selatan yang berdiri sendiri. Berdiri menghadap ke arah barat, berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter kali 7,94 meter.

Tinggi kaki candi setinggi 2,5 meter, tinggi tubuh candi setinggi 3,35 meter. Tinggi sesungguhnya candi tidak diketahui secara pasti karena bagian atap candi telah hilang.

 Candi Asu di kaki Merapi monumen pelajaran seks purba (Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Meski atap candi saat ini sudah tidak ada, patut diduga bahwa atap candi berbentuk kubah. Hal ini dapat dilihat dari potongan batu yang jika dibentuk akan menyerupai kubah.

Di bagian dalam candi terdapat patung sapi atau nandhi, juga terdapat sumur berbentuk kotak yang kedalamannya mencapai 5 meter dengan lebar berukuran 1,3 meter kali 1,3 meter. Fungsi sumur belum diketahui secara pasti, meski di dinding sumur masih terlihat jelas bekas ketinggian debet air.

Dari beberapa prasasti yang ditemukan di sekitar candi tersebut, dapat diidentifikasi di antaranya Prasasti Sri Manggala I (angka tahun 874 M) dan Sri Manggala II (angka tahun 876 M) serta Prasasti Kurambitan.

Dari catatan pada prasasti tersebut dapat diperkirakan candi ini dibangun pada sekitar 869 Masehi (semasa Rakai Kayuwangi dari Wangsa Sanjaya berkuasa). Dalam prasasti-prasasti tersebut juga disebutkan Candi Asu Sengi merupakan tempat suci untuk memuja arwah leluhur maupun para arwah raja-raja serta dewa-dewa.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.