Sukses

Cewek Kinjeng, Fenomena Istri yang Dijual Suami di Semarang

Kinjeng dalam bahasa Jawa berarti capung yang dilekatkan pada PSK sebagai ganti kosakata kupu-kupu malam.

Liputan6.com, Semarang - "....lai...lai...lai...lai...lai... panggil aku si jablay.... abang jarang pulang....aku jarang dibelai..."

Reffrain lagu dangdut berjudul "Jablay" mengalun dari sebuah kamar kos sederhana di kawasan Semarang Barat. Lagu itu pula yang membangunkan Menur (samaran) dari tidurnya, sementara sang suami masih betah mendengkur.

Menur biasanya pulang ke rumah pagi hari. Semalaman ia bekerja demi rupiah. Suaminya juga sama. Ia berjaga menemani dan mengawasi istrinya yang bekerja.

"Kami menikah tahun 2013. Saya asli Jepara, suami saya juga Jepara. Kami kawin muda. Kami merantau ke Semarang, niat awal bekerja untuk memperbaiki kondisi keuangan," kata Menur membuka obrolan, Sabtu (9/4/2016).

Secangkir kopi instan sudah tersaji. Menur kemudian bercerita bahwa setiap hari ia yang harus bekerja keras, sementara suaminya setia mengawasi pekerjaannya.

Setiap sore, begitu terdengar azan Magrib, ia bergegas menyiapkan peralatan kerja. Satu set bedak murah yang diklaim cocok untuk daerah tropis, dua lipstik berwarna oranye yang tak gampang dihapus, dan satu dus kondom.

"Saya jadi kinjeng mulai tahun 2014. Saat itu saya masih 23 tahun. Awalnya hanya kecelakaan alias iseng," kata Menur.


Kinjeng yang dimaksud oleh Menur adalah cewek kinjeng. Sebutan itu ditujukan bagi pekerja seks komersial jalanan di Semarang. Kinjeng dalam bahasa Jawa berarti 'capung', sebuah istilah yang dilekatkan pada PSK atau kupu-kupu malam.

Fenomena cewek kinjeng muncul bersamaan dengan kemudahan pembelian sepeda motor dengan cara dicicil. Menur juga mencicil sepeda motor matic warna merah sebagai sarana kerjanya.

Menur melanjutkan ceritanya. Ia mengaku terjun sebagai cewek kinjeng karena godaan media sosial Facebook. Ia menjalin asmara maya dengan seseorang yang mengaku polisi. Celakanya, hubungan itu ketahuan suaminya.

Sang suami, Anggodo, sempat kecewa. Saat itu ia sedang menganggur dari pekerjaannya sebagai buruh bangunan. Gelap mata, Anggodo melihat perselingkuhan istrinya sebagai celah mendulang uang dengan mudah. Ia nekat meminta pasangan selingkuh istrinya memberi uang tutup mulut.

"Daripada ribut, ia mau membayar. Saat itu suami saya dikasih Rp 1 juta," kata Menur.

Setelah kejadian itu, Anggodo ketagihan. Ia meminta Menur menjerat lebih banyak orang lagi. Di sisi lain, Menur juga mulai menikmati petualangannya bergonta-ganti pasangan.

"Boleh saja, asal pakai kondom. Biar enggak hamil atau tertular penyakit," kata Anggodo kepada Liputan6.com, sesaat setelah ia menemani ngobrol.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Fungsi Motor Matic



Pasangan Anggodo-Menur ternyata tidak sendirian. Berdasarkan cerita mereka, ada ratusan cewek kinjeng bertebaran di beberapa sudut kota. Sembilan di antaranya bekerja sebagai PSK jalanan atas sepengetahuan suami dan bahkan diantar jemput.

Vina (23), salah satu cewek kinjeng lain, menjelaskan bahwa ia diantar pasangan tetapnya setiap berangkat mangkal. Pasangannya itu bukan suami sah, tetapi hanya suami siri.

"Kami saling sayang, tapi kami saling percaya. Kalau tubuh saya dinikmati pria lain, suami saya tahu bahwa hati saya tetap untuk dia," kata Vina.

Setiap kali bekerja, Vina tak pernah menggunakan hati dan perasaan. Ia hanya sekedar menggugurkan kewajiban, yakni tamunya bisa orgasme. Berbeda saat melayani suami sirinya, ia akan berusaha agar keduanya bisa orgasme.

Para cewek kinjeng itu memasang tarif antara Rp 200 ribu-Rp 300 ribu untuk jam pertama. Itu belum termasuk kamar hotel. Jika lebih dari satu jam, pelanggan akan dikenai biaya tambahan.

"Itu salah satu fungsi suami mengawasi. Ia juga sebagai timer," kata Vina.

Para cewek kinjeng itu sekarang semuanya mengendarai sepeda motor. Mayoritas berjenis matic. Selain untuk keamanan dari razia Satpol PP, motor matic juga berfungsi menaikkan daya tawar mereka atas pelanggan.

"Kalau yang enggak bermotor matic harganya antara Rp 50 ribu-Rp 100 ribu," ucap Vina.

Sejauh ini, Satpol PP Kota Semarang belum mampu menangani penyakit sosial ini. Razia memang sering dilakukan di tempat mereka mangkal, misalnya di kawasan Jalan Imam Bonjol, Jalan Pemuda, Jalan Tanjung, dan Jalan Piere Tendean. Namun sebelum petugas sampai di lokasi, cewek-cewek kinjeng itu sudah tancap gas berterbangan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.